Back in Time; Bagian 1.1 — Kasihnya

tw // major character death , loss of loved ones , funeral

Huang Renjun.

Nama itu berkali-kali Jaemin eja pelafalannya dan setiap kali Jaemin sampai pada penghujung katanya, ia membuang nafas berat kemudian kembali mengeja nama itu dari awal, membaca satu persatu huruf dari nama tersebut, melafalkan kata demi kata kemudian kembali mengeluarkan apapun itu yang sejak tadi menghimpit rongga dadanya. Berharap dengan begitu, sakit di dadanya akan sirna dengan sendirinya.

Huang Renjun.

Nafas Jaemin tercekat. Berkali-kali melakukan hal yang sama tidak juga membuat sempit di dadanya melonggar, pun tidak juga membuat benda keras di genggamannya ini hancur, mau sekeras apapun Jaemin meremasnya.

Huang Renjun.

Nama itu masih disana, terukir begitu dalam pada sebuah pusara.

Hanya sekadar nama, namun mampu membuat seluruh dunia Jaemin porak poranda.

Semuanya sia-sia. Apapun yang Jaemin lakukan saat ini tidak ada gunanya. Mau sekeras apapun Jaemin berusaha, tetap saja yang tersisa hanyalah nama.

Huang Renjun.

Rasanya masih seperti mimpi. Jaemin ingat dengan jelas bagaimana waktunya seketika berhenti sesaat setelah Jaemin menerima panggilan dari Jeno—sahabatnya, tepat pada tanggal 23 Maret pukul 10 malam.

Jaem…

Jaemin ingat, bukan sapaan antusias seperti biasa yang ia terima dari Jeno, tapi suara lesu yang entah bagaimana berhasil membuat nafas Jaemin mendadak tercekat.

Jaemin juga ingat, bagaimana helaan nafas dari balik sana terasa begitu menyakitkan sebelum akhirnya Jeno berkata.

Renjun … udah pergi.

Dan seketika itu pula sekelilingnya menjadi gelap gulita, dadanya seperti dihantam batu besar, telinganya berdengung dan secara perlahan suara Jeno, pun suara-suara di sekitarnya memudar.

Renjun-nya sudah pergi.

Harusnya ia bahagia.

Tapi, kenapa rasanya begitu menyakitkan?

Apa yang sebenarnya terjadi?

Kenapa rasanya sulit untuk Jaemin terima?

Bahkan ketika hari pelepasan tiba, semua orang datang padanya berkata bahwa semua akan baik-baik saja.

Jaemin malah merasa hampa.

Apanya yang baik-baik saja?

Jaemin tidak mengerti.

Apa?

Apanya yang baik-baik saja setelah Renjun-nya pergi?

Tidak.

Harusnya tidak begini.

Bukan.

Bukan seperti ini yang Jaemin minta.

Bukan pergi yang seperti ini.

Jaemin hanya sempat berharap suatu saat Renjun akan pergi dan memberinya ruang untuk sementara.

Tapi, mengapa kepergian seperti ini yang Jaemin terima?

Bukan.

Bukan begini.

Ini salah.

Bukan kepergian seperti ini yang Jaemin harapkan.

Bukan.

Ini salah.

Tuhan.

Apakah ini hukuman baginya karena sempat meminta hal yang tidak seharusnya?

Kenapa Tuhan harus membawa Renjun pergi menuju tempat yang sulit ia jangkau? Bahkan Jaemin sendiri tidak tau dimana adanya.

Tuhan.

Bagaimana kalau nantinya Jaemin rindu? Harus kemana Jaemin menemuinya?

Ini betul-betul menyiksa.

Tolong.

Jika ini mimpi, bisakah bangunkan Jaemin sekarang juga?

Sungguh. Ini bukanlah mimpi yang Jaemin harapkan, jadi bisakah ia membuka mata sekarang juga?

Berkali-kali Jaemin memejamkan matanya, meraung, mengerang bahkan meremas semua kelopak-kelopak bunga segar yang menghiasi merahnya tanah, berharap dengan melakukan semua itu, ia akan segera terbangun dari mimpi buruknya.

Namun, tidak ada yang berubah.

Gundukan tanah merah dengan pusara bertuliskan nama kasih-nya masih disana.

Renjun-nya benar-benar telah pergi.

“Sayang, kalau Tuhan nggak mau bangunin aku dari mimpi ini ... bisa nggak, kamu aja yang bangun buat aku?” tanyanya parau, suaranya tercekat di tenggorokan, seperti terhalang sebuah batu besar, menghimpitnya hingga ke rongga dada.

Rasanya menyiksa.

Tubuh Jaemin bergetar. “Aku egois, ya?” Untuk kesekian kalinya, Jaemin buang nafas beratnya berselingan dengan hembusan nafasnya yang sesak. “Bahkan sampai detik ini selalu aja aku yang meminta. Padahal atas semua perbuatan aku selama ini, kamu sama sekali nggak pernah minta apa-apa.”

Jaemin tertunduk dan pada detik berikutnya ia hirup oksigen semampu yang ia bisa.

Kemudian secara perlahan mata Jaemin mengabur. Cairan bening menumpuk pada bola matanya dan dengan lambat mengalir turun membasahi pipinya.

Untuk pertama kali dalam tiga hari, Jaemin menangis.

Air matanya berhasil turun setelah selama ini dengan susah payah ia cegah.

Sudah berapa lama dia disini?

Apakah sudah 5 jam lamanya?

Ah... Rasanya waktu berjalan begitu lambat seolah mengejek Jaemin yang sejak tadi masih berlutut di samping gundukan tanah.

Dan selama hidupnya, 5 jam tidak pernah terasa begitu menyiksa.

Menyakitkan.

Sungguh, ini benar-benar menyakitkan.

Jaemin bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya setelah ini ia harus hidup tanpa kasih-nya, bagaimana rasanya setelah ini ia harus menjalani waktu lebih panjang tanpa Renjun di sampingnya? Jaemin sangsi, apakah ia bisa?

Jaemin, berkali-kali aku bilang. Jangan taruh handuk basah di tempat tidur, kamu mau kasurnya jadi lembab dan bau?

Berhenti minum kopi banyak-banyak. Sehari minimal sekali ato dua kali aja, deh. Sayang lambung kamu.

Liat, nih. Cara ambil baju dari lemari yang bener tuh, kayak gini. Jangan kamu tarik sembarangan, nanti kalau berantakan ujung-ujungnya aku juga yang beresin.

Babe, isi kulkas kamu kok ini-ini aja, sih? Besok kayaknya kita harus beli bahan-bahan buat percantik kulkasmu, deh.

“Renjun…,” gumamnya, serak. Ia kehabisan suara.

Dan sepersekian detik berikutnya, Jaemin terkekeh, mencibir diri sendiri yang selama ini begitu bodoh mengabaikan kasihnya.

Ah, menyedihkan.

Sekarang bagaimana Jaemin harus menjalani hari-harinya?

Renjun-nya sudah pergi.

Benar-benar pergi.

Sebelum tidur, biasaiin sikat gigi sama cuci muka dulu. Jangan malas gitu, ah.

Terakhir kamar mandi kamu dibersihin kapan, sih? Kok bisa kotor banget kayak gini?

Sebelum pergi kerja jangan lupa sarapan. Nanti siangnya aku bawain makan siang, ya?

Ingetin aku buat ingetin kamu bersihin kandang Michi, ya. Awas kalo lupa.

Jaemin mengerang. Bayang-bayang kasihnya selama 7 tahun ini secara otomatis berputar-putar dalam benaknya seperti potongan film.

Suara-suara yang selama ini hampir ia dengar setiap harinya, suara-suara yang selalu ia anggap bagaikan angin lalu, pun suara yang selalu membuat Jaemin berdecak kesal setiap kali mendengarnya, turut serta mampir dalam benaknya, memporak porandakan seluruh rongga dadanya.

Sebelumnya, Jaemin pernah sebosan itu mendengar suara Renjun, pernah sekesal itu jika kasihnya berkali-kali datang berkunjung, memberikan petuah-petuah yang selalu diulang setiap hari. Sampai-sampai membuat Jaemin rasanya ingin menyumpal kedua telinga setiap kali kasihnya membuka suara.

Jaemin sungguh pernah merasa muak, sampai pada waktu dimana ia berharap; semoga saja suatu saat suara itu tidak akan dia dengar lagi untuk sementara.

Harusnya ia bahagia.

Harapnya menjadi nyata.

Tapi, kenapa rasanya ia merana?

Bukan.

Tolong. Bukan seperti ini.

Jaemin mengerang, erangannya lebih hebat dari sebelumnya.

Sedih. Ah, tidak. Bahkan untuk bersedih pun rasanya Jaemin tidak pantas.

Benci. Sungguh, saat ini Jaemin membenci dirinya sendiri.

Tuhan, tidak bisakah Jaemin memutar waktu?

Atau tidak.

Tidak usah memutar waktu. Tapi, bisakah waktunya ditukar saja dengan Renjun?

Rasanya ia rela melakukan apa saja bahkan menukar seluruh waktu di dunia demi kasihnya.

Jaemin putus asa.

Segala erangannya tidak juga menghilangkan rasa sakit di dadanya.

Semua tidak ada gunanya.

Sebab Renjun-nya sudah tidak ada.

**

©beyellowed