Back in Time; Bagian 1.2 — Merana
TW // loss of loved one , hallucination CW // alcohol , reality denial
Jaemin masih terjaga.
Ia kira dengan pulang ke rumah, hatinya akan lebih tenang atau bisa saja ia tidak akan sekacau sebelumnya. Namun, nyatanya sama saja.
Sejak dirinya memutuskan untuk pulang, bayangan Renjun langsung menyambutnya pada detik pertama setelah Jaemin menginjakkan kaki di dalam apartment miliknya.
Bayang-bayangnya terasa begitu nyata.
Sungguh.
Renjun-nya berada disana, sedang duduk di atas sofa sembari menonton film kesukaannya.
Renjun-nya berada disana, menyambutnya pulang dengan tangan terbuka dan senyum cerahnya seperti biasa.
Renjun-nya berada disana, sedang menatap Jaemin cemberut karena Jaemin tak kunjung menyambut peluknya.
Tuhan.
Bagaimana bisa ia melupa jika pada setiap sudut rumahnya hanya mengingatkan Jaemin tentang kasihnya?
Dan bagaimana mungkin Jaemin lupa bahwa pada dasarnya Renjun adalah rumahnya?
Babe, kayaknya kulkas kamu isinya udah nggak lengkap, deh. Mata Jaemin bergerak, sosok Renjun kini terlihat sedang sibuk membongkar isi kulkas dan sedetik kemudian ia menoleh ke arah Jaemin. Besok kita belanja bulanan buat percantik isi kulkasmu, yuk?
Jaemin mengangguk.
Ia ingat betul bagaimana permintaan Renjun yang satu itu pernah ia tolak sebab dirinya terlalu lelah. Ia juga ingat bagaimana Renjun terlihat kecewa, tapi kemudian hanya berkata. Ya udah, nggak apa-apa. Nanti aku yang beliin aja.
Harusnya kala itu, Jaemin katakan ‘iya’.
Dan atas satu ingatan yang mampir pada benaknya, Jaemin nelangsa.
Langkah kakinya terseret, ia bawa tubuhnya menuju sofa, duduk di sana dengan bayangan Renjun yang sekarang muncul di sampingnya.
Sedetik kemudian Jaemin tolehkan kepala, menatap bayangan Renjun yang mulai bicara.
Sumpah, deh. Menurutku kematian Barb itu gak adil banget. Dia cuma ikutin kemauan Nancy padahal, eh malah jadi korban.
Jaemin tertawa.
Ia ingat betul bagaimana mulut Renjun bergerak lucu ketika menyuarakan protesnya terhadap series yang kala itu mereka tonton bersama. Ia juga ingat bagaimana keduanya malah berdebat setelahnya, karena menurut Jaemin, sosok Barb bukanlah sesuatu yang penting untuk diperhatikan. Dan pada akhirnya, Renjun berkata. Ya udah, terserah.
Harusnya kala itu, Jaemin mengalah.
Dan atas satu ingatan yang mampir pada benaknya, Jaemin kecewa.
Seandainya Jaemin memperlakukan Renjun sebagaimana mestinya.
Seandainya Jaemin tidak mengabaikannya.
Seandainya kemarin Jaemin menemaninya.
Seandainya saja...
Ada begitu banyak andai yang berputar-putar dalam pikiran Jaemin, tapi ia sendiri tak mampu mengutarakannya.
Jaemin lelah.
Kini matanya menerawang sembari meringkuk memeluk lututnya sendiri di atas sofa ruang tengah. Ia baru saja meletakkan dua lusin kaleng bir yang ia beli minggu lalu—tentu saja tanpa sepengetahuan Renjun—di atas meja.
Sejujurnya Jaemin bukanlah peminum yang handal dan tentu Renjun tau akan hal itu. Renjun selalu melarangnya menegak alkohol berlebihan mengingat toleransinya terhadap alkohol begitu payah.
Renjun juga orang yang begitu mementingkan kesehatan. Kasihnya itu selalu mengontrol apa yang akan ia konsumsi dan selalu siap kapan saja mewanti-wanti agar Jaemin juga dapat mementingkan kesehatannya.
Oh.
Jaemin ingat sekarang.
Kalau gitu …
Dengan satu gerakan, Jaemin raih dua kaleng bir dari atas meja dan ditegaknya sekaligus hingga tak bersisa. Dirasa kurang cukup, diraih lagi dua lainnya, menegaknya sekaligus kemudian melakukan hal yang sama lagi. Sekali … dua kali … tiga kali.
Jika Renjun tidak suka, bukankah Renjun akan datang padanya dan memarahinya?
Harusnya dengan begini cukup untuk membuat Renjun segera datang bukan?
Iya.
Harusnya Renjun akan muncul di hadapannya.
Harusnya Renjun akan memarahinya.
Harusnya Renjun ada..
Harusnya… Renjun...
Sesak.
Renjun-nya ada dimana?
Jaemin harus mencari kemana?
Satu detik.
Dua Detik.
Tiga detik.
Lalu Jaemin mengerang. Air matanya tumpah ruah.
Tuhan.
Ini benar-benar nyata.
Renjun-nya sudah tiada.
**
©beyellowed