Back in Time; Bagian 2.1 — Pertemuan Pertama dan Kedua
a/n : Usia karakter di AU ini aku naikin dari aslinya, ya. Jadi, Jaemren disini bukan kelahiran 2000. Ceritanya pas 2014 mereka udah masuk SMA.
8 tahun yang lalu, 7 Juli 2014
Pagi itu matahari sudah bersinar cukup terik, padahal waktu baru menunjukkan pukul enam lewat empat puluh lima menit.
Jaemin sejak tadi masih sibuk merapikan seragam putih abu-abunya yang dari rumah ia pakai secara asal—mengingat dirinya akan telat berangkat ke sekolah.
Hari ini, hari pertama masuk SMA dan sialnya tadi pagi Jaemin terlambat membuka mata. Bunda sama sekali tidak membangunkannya karena kata Bunda, “Udah jadi anak SMA ‘kan? Bangun sendiri, masa harus Bunda bangunin terus?”
Alhasil Jaemin harus memasang 10 alarm dengan durasi jeda 5 menit sekali hingga pukul setengah enam. Namun, pada akhirnya, semua usahanya itu tiada berguna.
Jaemin baru berhasil membuka mata setelah jarum jam menunjukkan pukul enam lewat lima belas menit. Akibatnya Jaemin menyelesaikan segala urusannya dengan tergesa-gesa. Bahkan melewatkan sarapan yang Bunda sediakan di atas meja.
Dan disinilah Jaemin, sedang dalam perjalanannya menuju gerbang sekolah yang ia perkirakan tinggal 30 meter jauhnya.
Untung masih 15 menit lagi.
Jaemin berjalan gontai sambil mengecek satu persatu perlengkapan MOS yang ia punya. Papan nama ada, tali pelangi ada, plastik ungu juga ada, ratu perak … gue bawa gak, ya?
Seingat Jaemin, ratu perak-nya sudah ia siapkan semalam.
Jaemin ingat, kok, dia sempat minta tolong pada Ayah untuk menyiapkannya karena minggu lalu seniornya bilang kalau siswa baru harus membawa masing-masing satu buah ratu perak.
Memang, sih, Ayah sempat bertanya. “Buat apa senior kamu suruh bawa barang begitu?” yang tentu dijawab dengan gidikkan bahu oleh Jaemin.
Malamnya Ayah pulang dari kantor, beliau langsung menemui Jaemin dan menyerahkan ratu perak yang diminta anak semata wayangnya sambil menggerutu. “Senior kamu kayaknya ngebet pengen kaya, deh. Masa nyuruh semua siswa baru bawa barang begini? Pasti mau dijual ulang.”
Dan dibalas oleh Jaemin. “Jaemin juga nggak ngerti, Yah.”
Nah, setelah itu. Jaemin ingat, barangnya ia simpan di saku kecil di dalam tasnya. Untung saja semalam dia tidak lupa menyimpannya di tempat yang aman, karena kalau tidak, bisa-bisa pagi ini, ia lupa membawanya.
Dengan sekali gerakan, Jaemin tarik tas yang ia gendong dari bahu kanannya dan saat hendak membuka resleting tas, gerakan Jaemin terhenti. Suara seseorang baru saja masuk pada pendengarannya.
“Aduh, meng. Kamu udah lapar banget, ya?”
Sedetik kemudian, Jaemin tolehkan kepalanya sedikit ke kiri. Matanya langsung saja menangkap punggung laki-laki dengan seragam yang sama dengannya, sedang berjongkok di atas aspal.
“Duh, gimana, ya? Aku, tuh, bentar lagi terlambat.” Suaranya terdengar lagi, sekarang kepalanya ia tolehkan ke kanan dan ke kiri. Setelah dirasanya apa yang ia cari tidak ada—yang tentunya Jaemin sendiri tidak tau itu apa—akhirnya laki-laki itu kembali menunduk.
Jaemin bawa arah pandangannya mengikuti pandangan laki-laki itu, mendapati seekor kucing yang sedang berputar-putar di tempat sembari sesekali menggosok tubuhnya pada kaki manusia yang ada di depannya.
Miaw
Kemudian terdengar helaan nafas panjang dari sana. “Ya udah, bentar.”
Si laki-laki kemudian bergerak membuka tasnya, mengobrak-abrik sedikit isi di dalamnya lalu mengeluarkan satu kotak makanan dari sana.
Harusnya Jaemin tidak usah memperdulikan hal ini, mengingat sebentar lagi lonceng akan segera berbunyi, tapi ada satu hal menarik yang rasanya sayang jika harus dilewati.
Mata Jaemin mengikuti semua gerakan si Cowok Kucing—biarlah untuk sementara Jaemin menyebutnya demikian—mulai dari ia membuka tutup kotak makanan—Jaemin tebak itu pasti bekalnya sendiri—lalu mengeluarkan satu persatu lauk yang ia punya untuk diberikan pada si kucing.
“Maaf ini cuma ada nugget aja, makan ini dulu, ya,” katanya, kemudian tangannya dengan lembut mengelus-elus puncak kepala si kucing.
Satu sudut bibir Jaemin terangkat dan sepersekian detik kemudian suara kekehan kecil berhasil keluar dari mulutnya.
Atas apa yang—secara tidak sengaja—ia lakukan itu, si Cowok Kucing akhirnya mendongakkan kepalanya ke arah Jaemin.
“Kenapa liat-liat?” tanyanya dengan wajah memberengut.
Oops, ketauan.
Tadinya Jaemin kira si Cowok Kucing ini adalah seniornya—melihat betapa galaknya wajah yang ia tunjukkan pada Jaemin barusan—tapi, setelah Cowok Kucing itu berdiri, papan nama berukuran besar yang hampir sama dengan punya Jaemin terlihat menggantung di lehernya.
Refleks, Jaemin arahkan matanya pada tulisan yang tertera pada papan.
Huang Renjun.
Huang Ren … jun?
Gimana pelafalannya, sih?
Peka hasil karyanya ditatap sedemikian rupa, si Cowok Kucing dengan cepat langsung menutup papan miliknya dengan kedua tangan.
Tersadar, Jaemin langsung berdeham. “Siswa baru juga?”
“Nggak bisa liat emang?”
Galak banget, buset.
“Ya … bisa, sih,” kata Jaemin, canggung. Ia garuk belakang telinganya.
Miaw
Suara si kucing terdengar lagi membuat kedua laki-laki ini secara otomatis menoleh.
“Yah, kok nuggetnya nggak dimakan, sih?”
Jaemin bergerak mendekat, sekarang ia ikut berjongkok di samping si Huang Renjun setelah tadi laki-laki itu mendahuluinya.
“Kucing nggak boleh makan nugget,” kata Jaemin kemudian tangannya mulai mengelus-elus puncak kepala si kucing.
“Kenapa gitu?”
“Soalnya nugget, tuh, kebanyakan mengandung bahan yang berbahaya buat kesehatan kucing. Jadi, kurang cocok,” jelas Jaemin, matanya ia bawa menatap sosok Renjun yang ternyata sudah menatapnya penasaran. Saat pandangan mereka bertemu, Jaemin ulas satu senyuman.
Jika dilihat dari dekat seperti ini, wajah si Cowok Kucing tidak kalah manis dibandingkan kucing itu sendiri rupanya.
Ya… Meski tatapannya masih galak, Jaemin tidak memungkiri kalau Renjun ini punya wajah yang rupawan. Jaemin rasa, siapapun yang menatapnya untuk pertama kali pasti akan langsung terpesona, seperti dirinya saat ini. Ia bahkan tidak sadar saat mulutnya mulai terbuka dan berkata.
“Cantik.”
Dan berkat itu, Renjun mengernyit.
Oh, tidak. Jaemin baru saja kelepasan.
Gugup, Jaemin berdeham. “Kucingnya cantik, maksud gue.”
Belum sempat Renjun membuka mulutnya untuk bicara, suara lonceng mendahuluinya. Kepalanya langsung menoleh ke arah gerbang sekolah.
“Gawat, udah lonceng,” katanya dan tanpa aba-aba ia segera berdiri dan lari secepat yang ia bisa, sama sekali tidak menghiraukan Jaemin yang masih diam di tempatnya.
Dan atas apa yang terjadi barusan, Jaemin menyesal.
Sebab dia terlambat.
Pertama; terlambat masuk sekolah, dan kedua; terlambat memperkenalkan dirinya.
**
Pertemuan keduanya dengan si Cowok Kucing terjadi di hari yang sama, di jam istirahat.
Entah ini dinamakan jodoh atau bagaimana, Jaemin sendiri tidak menyangka.
Saat itu Jaemin sedang dalam perjalanannya menuju kantin sekolah. Tidak disangka-sangka, matanya menangkap sosok si Cowok Kucing sedang berdiri di koridor kelas, dirinya terlihat sedang asik berbincang dengan seseorang dan—oh, tunggu dulu. Jaemin kenal orang itu.
Kesempatan, nih.
Entah keberanian darimana, Jaemin akhirnya dekati dua orang itu dan entah bagaimana pula, si Renjun yang saat itu masih asik bercerita, secara perlahan menoleh ke arahnya, seolah tau bahwa Jaemin sebentar lagi akan tiba.
Selama langkah Jaemin terayun, pandangannya terkunci dengan pandangan Renjun.
Iya, benar. Sekarang keduanya tengah beradu tatap bak adegan dalam sebuah drama.
Jika Jaemin dan Renjun benar-benar sedang bermain drama, mungkin sekarang ini dengan gerakan slow motion, rambut keduanya pasti sudah berterbangan tertiup angin buatan, tidak lupa ditambah lagu romantis sebagai latar belakangnya dan juga efek hati atau bunga berjatuhan sebagai pelengkapnya.
Sungguh.
Rasanya sudah seperti pemeran utama dalam sebuah drama romansa yang sering ditonton Bunda.
Meski tidak terlihat demikian, tapi Jaemin dapat merasakannya.
Dan atas pemikirannya tersebut, dalam hatinya Jaemin tertawa.
Langkahnya berhenti tepat di hadapan Renjun dan orang yang ia kenal itu.
“Haechan, apa kabar?” sapanya pada laki-laki yang sedang menyender pada dinding kelas.
Kaget karena dirinya baru saja disapa, laki-laki yang dipanggil Haechan itu langsung menegakkan tubuhnya.
Sadar bahwa ia mengenal Jaemin, Haechan langsung saja mengangkat satu tangannya, menyambut tangan Jaemin yang sudah lebih dulu di udara. “Woy, Jaemin. Masuk sini lo ternyata?”
“Iya, nih. Gue kira lo SMA sebelah,” kata Jaemin, basa basi. “Udah lama, ya, kita nggak ketemu. Terakhir kapan, sih?” tanyanya kemudian.
“Terakhir waktu kelas 8 nggak, sih?” jawab Haechan sambil mengira-ngira. “Sejak gue pindah sekolah kita udah nggak ketemu lagi, gila!”
Padahal niatnya, Jaemin ingin berkenalan dengan Renjun lewat Haechan, tapi siapa sangka basa-basinya malah ditanggapi dengan penuh antusias oleh si lawan bicara.
Haechan mulai bercerita banyak hal, sedikit banyak bernostalgia kala mereka masih satu sekolah dan Jaemin sedikit banyak terpaksa turut serta dalam bercerita.
“Lo makin cakep aja gue liat-liat,” kata Haechan di akhir ceritanya.
Jaemin tertawa sumbang. “Bisa aja lo.”
“Lo gugus berapa, deh, Jaem?”
“Gue?” Haechan mengangguk. “Gugus enam. Ini gugus berapa?” jawab Jaemin kemudian balik bertanya.
Haechan acungkan dua jari di hadapannya. “Gugus dua.”
Mendengar jawaban itu, Jaemin hanya anggukkan kepala. “Kalian satu gugus?”
“Yoi.”
Udah? Gitu aja? Lo nggak ada niatan kenalin gue ke temen lo?
Tanpa suara, Jaemin buang nafas beratnya.
Oke. Sekarang apa? Haruskah Jaemin berkenalan atau...?
Tunggu dulu.
Kalau Jaemin tidak salah, selama Jaemin berbicara dengan Haechan, rasanya Renjun terus memperhatikannya—ini bukannya Jaemin terlampau percaya diri, tapi rasanya memang demikian, kok. Bahkan saat Jaemin menoleh padanya, laki-laki itu langsung membuang muka.
Ini berarti Renjun mengenalnya bukan?
Lalu kenapa laki-laki itu tidak menyapanya?
Apa Renjun saat ini pura-pura tidak mengingatnya?
“Eh, btw gue ganggu, ya?” Pada akhirnya Jaemin kembali membuka suara, sedikit mengesampingkan rasa penasarannya terhadap si Cowok Kucing itu.
“Nggak lah, santai aja kali. Ini gue sama Renjun—” Kalimat Haechan sedikit terjeda berkat dirinya baru saja menujuk Renjun dengan dagunya.
Oh, gitu pelafalannya.
“—cuma lagi ngomongin barang yang para senior suruh bawa itu lho… Apa sih, namanya?” Kening Haechan berkerut, tampak berpikir.
Untungnya, Jaemin paham maksudnya.
“Ratu perak?”
Haechan menjentikkan jarinya. “Nah! Iya itu.”
“Lo bawa nggak, Jaem?”
Jaemin mengangguk sekali. “Bawa.”
Atas jawaban yang Jaemin berikan, si Haechan langsung saja mendekat padanya. “Liat punya lo, dong. Lo bawa yang mana? Bentar lagi dikumpul ‘kan?”
Tangan Jaemin langsung bergerak merogoh saku kamejanya, gerakannya itu berhasil menciptakan kerutan pada dahi Haechan termasuk Renjun. Berkatnya, secara otomatis, Jaemin mengangkat satu alisnya, bingung karena ditatap demikian rupa.
Perlahan dikeluarkannya ratu perak yang ia punya.
Dan sedetik kemudian, tawa Haechan dan Renjun pecah saat itu juga.
“Jaem, nggak salah sih. Emang ratu perak tapi nggak gini maksudnya,” ucap Haechan disela tawanya.
“Lah? Bener dong ratu perak 'kan? Emang apa lagi kalau bukan ini?”
Gawat.
Menurut firasat Jaemin, sepertinya ia baru saja melakukan satu kesalahan yang berakibat cukup fatal untuk image-nya di depan Renjun.
Tapi, apa? Kenapa keduanya, baik Haechan maupun Renjun tak juga berhenti tertawa?
“Jaem, lo ngapain bawa koin Belanda? H-harusnya—” Kalimat Haechan menggantung di udara, ia masih sibuk mengatur nafasnya sendiri berkat tawanya yang tak kunjung mereda. “—maksud ratu perak tuh, cokelat, Jaem,” katanya kemudian melanjutkan tawanya.
“Lah? Katanya perak kenapa malah cokelat?”
“Aduh, gue nggak kuat.” Haechan pegang perutnya sendiri, wajahnya sudah memerah.
Dan kini si Renjun yang buka suara, masih dengan sisa tawanya. “Ratu perak itu maksudnya cokelat SilverQueen, bukan koin perak yang ada gambar ratunya.”
Oh.
Begitu.
Begitu rupanya cara mudah membuat Renjun tertawa.
Jaemin ingat. Itu kalimat panjang pertama yang Renjun lontarkan padanya.
Jaemin ingat. Itu pertama kali jantungnya terasa berdetak lebih hebat dari biasanya.
Dan Jaemin juga ingat. Itu pertama kalinya Jaemin jatuh cinta.
Harusnya kala itu, Jaemin malu atas perbuatannya. Tapi, kenapa Jaemin malah berbunga?
**
© beyellowed