Back in Time; Bagian 3.1 — Satu Banding Sejuta
8 Tahun yang lalu, 28 Juli 2014
Akibat mengabaikan pesan Bunda dan memilih tidur hingga larut malam, pagi ini Jaemin menerima konsekuensinya; bunda benar-benar membiarkannya bangun sendiri dan Jaemin baru membuka mata tepat saat jam menunjukkan pukul enam lewat tiga puluh lima.
Protesnya tadi ke Bunda juga tiada berguna, Bunda malah berkata. “Ya nggak tau, bukan salah Bunda. Siapa suruh semalam begadang?”
Berkatnya Jaemin jadi tergesa-gesa.
Meski sudah berusaha semaksimal yang ia bisa, waktunya tidak cukup juga.
Jaemin baru tiba di sekolah tepat setelah gerbangnya ditutup oleh penjaga. Kalau sudah begitu, ini berarti Jaemin harus putar balik mencari jalan pintas atau pulang ke rumah. Dan kalau pun Jaemin memaksa untuk masuk saat gerbang sudah ditutup, paling-paling Jaemin hanya diberi hukuman seperti mengangkat sampah atau bisa saja mencabut rumput. Sayangnya pagi ini, Jaemin agak berat hati menerima hukuman itu.
Pulang aja kali, ya?
Masalahnya kalau dia pulang, ceramah dari Bunda pasti akan dia terima dan Jaemin yakin itu akan memakan waktu berjam-jam lamanya.
Apa lewat jalan belakang?
Ketika baru saja kakinya akan memutar arah, langkahnya langsung tertahan.
Mata Jaemin baru saja menangkap sosok yang akhir-akhir ini jadi karakter utama dalam cerita yang ia susun dalam benaknya, terlihat sedang berlari tergesa-gesa menuju gerbang sekolah.
Huang Renjun.
Si manis yang belakangan ini terus mampir dalam pikirannya, ada disana sedang mengalami hal serupa dengannya.
Melihat itu, senyum Jaemin langsung terbit saat itu juga.
Langkahnya secara otomatis terayun, ia bawa mengikuti kemana perginya si Huang Renjun.
Sebab Jaemin baru saja memutuskan. Daripada kena omelan Bunda, mending gue kena hukuman di sekolah ajalah.
Dengan catatan; yang penting sama Renjun.
Ketika kaki Jaemin berhenti tepat di belakang Renjun, suara laki-laki itu langsung terdengar.
“Pak, tolong bukain pintunya, dong,” pinta Renjun pada Satpam yang saat ini sedang berdiri sambil berkacak pinggang. “Saya pengen banget ikut upacara, pak. Boleh, ya, Pak?”
Setelahnya, Pak Satpam memandang Renjun dan Jaemin yang sudah berdiri di belakang Renjun secara bergantian.
“Udah tau hari Senin ada upacara, siapa suruh terlambat?” Pak Satpam malah balik bertanya. “Percuma, ini upacaranya udah mau mulai,” pungkasnya kemudian.
“Nah, justru itu, Pak,” Lagi, Renjun bersuara. Tangannya sekarang sudah mengenggam jeruji besi dari pagar yang ada di depannya. “Mumpung belum mulai, boleh ya, saya masuk?”
Pak Satpam terlihat menimbang-nimbang.
Cukup lama.
Renjun tidak sabar dibuatnya. Kakinya sudah bergerak-gerak gelisah di bawah sana. Melihat itu Jaemin angkat satu sudut bibirnya kemudian mencondongkan tubuhnya pada Renjun tepat di belakang telinga.
“Lo gak mau lewat jalan belakang aja?” bisiknya berhasil membuat Renjun terperanjat.
“Kaget!” pekik Renjun, tangannya dia bawa memegang dada. “Sejak kapan lo di situ?”
Jaemin bergerak mundur, ia simpan tangan kirinya di saku celana, kemudian menjawab dengan santai. “Sejak tadi.”
Renjun mengernyit. “Kok lo gak ada suaranya daritadi?”
“Nggak mau ganggu lo ngobrol sama pak Satpam soalnya.”
Mendengar itu, Renjun mendecih lalu berbalik membelakangi Jaemin lagi. “Pak, gimana? Boleh, ya?” pintanya lagi pada Satpam yang tadi.
Jaemin sekarang mulai gemas sebab Renjun baru saja mengacuhkannya. Padahal Jaemin sudah berusaha terlihat keren semampu yang ia bisa, tapi Renjun bisa-bisanya malah memilih untuk tidak menghiraukannya? Ini tidak bisa dibiarkan.
“Mending kita lewat jalan belakang aja,” bisik Jaemin lagi dari balik punggung Renjun. “Gue yakin Satpam gak mau bukain pagarnya.”
“Pasti mau,” kata Renjun, kepalanya sedikit ia miringkan ke arah sumber suara Jaemin berada. “Mending lo bantu gue bujuk Satpamnya, deh. Daripada ngajak yang nggak-nggak.”
“Gue nggak ngajak yang nggak-nggak.”
“Lah? Itu barusan apa?”
“Gue cuma ngasih solusi.”
Renjun mendesis. “Itu bukan solusi, tapi cari mati.” Sedetik kemudian laki-laki itu acungkan jari telunjuknya di udara. “Nih, ya. Pertama, kalau lewat jalan belakang belum tentu disana nggak ada yang jaga,” ucapnya mulai menjelaskan, sekarang ia acungkan jari tengahnya, menemani jari telunjuknya. “Kedua, kalaupun nggak ada yang jaga belum tentu kita aman sampe ke lapangan.”
Gantian, Jaemin yang acungkan jari telunjuknya tepat di samping jari-jari Renjun yang masih di udara. “Ketiga, jadi lo milih kena hukuman aja?”
Belum sempat Renjun menjawab, suara Satpam menginterupsi pembicaraan keduanya.
“Ngapain kalian bisik-bisik?” tanyanya, secara bergantian menatap Renjun dan Jaemin tepat di mata. Dan setelah mendapat jawaban ‘tidak’ dari keduanya, laki-laki separuh baya itu langsung bergerak membuka pintu pagar. “Ya, sudah. Masuk aja. Tapi nanti langsung masuk barisan khusus yang terlambat sama yang kena hukuman, ya.”
Atas apa yang dikatakan Pak Satpam barusan, Jaemin langsung berdiri tegak dan angkat tangan kanannya membentuk sikap hormat. “Siap, Pak!”
Renjun yang melihat itu hanya memutar bola matanya sambil geleng-geleng kepala. Ia kemudian berjalan lebih dulu, lalu diikuti Jaemin dari belakang.
Keduanya sudah mengambil tempat di barisan khusus seperti yang dikatakan Pak Satpam tadi.
Sejujurnya, ini barisan yang betul-betul paling Jaemin hindari. Karena selain isinya orang-orang—yang dapat dikatakan—membangkang, barisan ini posisinya juga tepat menghadap matahari pagi.
Bayangkan mengikuti upacara pagi yang memakan waktu kurang lebih empat puluh lima menit, dengan mata yang menghadap matahari secara langsung, mungkin kalau tanpa topi, mata Jaemin sudah pasti akan kunang-kunang dibuatnya.
Jaemin menghela nafas beratnya. Baru membayangkan saja, kepala langsung terasa mau pecah.
Untuk itu Jaemin raih topi yang ia simpan dari tasnya.
“Aduh, topi gue mana, ya?”
Suara yang berasal dari sisi kanan Jaemin menginterupsi gerakannya yang akan mengenakan topi. Ia bawa arah pandangannya menatap laki-laki mungil yang tengah sibuk mengobrak-abrik isi tasnya.
“Perasaan tadi udah gue simpan di tas, deh.”
Melihat itu, Jaemin jadi menimbang-nimbang.
Ini kalau gue pinjemin topi pasti dia nggak bakal terima.
Untuk itu, satu ide langsung terlintas dalam pikiran Jaemin. Ia kemudian bergerak memakaikan topi di atas kepala Renjun, membuat gerakan laki-laki itu terhenti lalu sepersekian detik berikutnya ia angkat kepalanya, memandang Jaemin dengan kerutan yang tercetak jelas di dahinya.
“Topi lo jatoh tadi,” kata Jaemin setelah melihat bagaimana Renjun bereaksi, kalau tidak segera dipotong mungkin laki-laki itu akan segera mengembalikan topinya pada Jaemin.
Dan atas apa yang dikatakan Jaemin barusan, air muka Renjun jadi berubah. Kini mulutnya terbuka, matanya berkedip beberapa kali, terlihat seperti sedang memproses apa yang sedang terjadi. Lucu
“Thanks..?” katanya kemudian, dari suaranya, Jaemin jelas paham bahwa saat ini Renjun pasti kebingungan dibuatnya.
Untuk itu, tanpa menimbulkan kecurigaan lainnya, Jaemin langsung mengangkat kedua sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman dan berkata. “Sama-sama.”
Kalau gini, nggak apa-apa, deh, ini mata jadi kunang-kunang.
Dan setelah itu, upacara berjalan sebagaimana mestinya.
**
Tadinya Jaemin mengira setelah upacara selesai, ia akan diberi kesempatan untuk mengobrol sejenak dengan Renjun. Nyatanya tidak. Mereka langsung berpisah tepat setelah barisan dibubarkan.
Sungguh sangat disayangkan.
Sepanjang hari, Jaemin tiada henti-hentinya merutuk kebodohannya dalam hati. Jaemin menyesali kelambatannya dalam memulai pergerakan lagi.
Harusnya tadi pagi dia langsung saja memperkenalkan diri lalu basa-basi sedikit kemudian jika diberi kesempatan ia bisa saja meminta pin BBM Renjun, tapi apa mau dikata? Sepertinya kesempatan untuknya lagi-lagi tidak ada.
Sigh
Jaemin menghela nafas beratnya. Memikirkan itu lumayan menguras tenaga ternyata.
“Kenapa lo?” tanya Jeno yang baru saja duduk di depan Jaemin dengan semangkok bakso di tangannya. “Banyak beban hidup?” lanjutnya setelah berhasil meletakkan manggok baksonya di atas meja.
Jaemin menggeleng . “Nggak,” jawabnya sembari meraih sendok dan garpu yang berada tepat di samping Jeno. “Cuma lagi meratapi kebodohan gue aja,” pungkasnya kemudian.
Mendengar hal itu, Jeno mendecih. “Sadar ternyata kalo bego.”
Gerakan Jaemin yang sedang mengaduk campuran pada baksonya langsung terhenti, ia menatap Jeno dengan tatapan yang dibuat segarang mungkin, berusaha menunjukkan kekesalannya pada laki-laki itu. Pun meski sudah berusaha, bukannya merasa bersalah Jeno yang ditatap demikian malah tertawa kemudian melempar Jaemin dengan tissue tepat mengenai wajahnya.
“Lagian lo, sih. Tadi pagi harusnya lo langsung aja minta pin dia.”
“Momennya belom pas, gimana bisa gue minta?”
“Ya udah, sih. Sini gue kenalin aja, deh.”
“Nggak dulu, gue masih mau usaha.”
Atas jawaban Jaemin itu, Jeno berdecak, sedikit kesal dengan Jaemin dan keras kepalanya. “Ini kalau sampai momennya nggak datang-datang juga, gue yakin lo—”
“Jen,” sahut Jaemin memotong Jeno yang belum selesai dengan perkataannya. “Menurut lo kemungkinan gue dapet pin Renjun hari ini, berapa banding berapa?” tanyanya kemudian tanpa menatap wajah Jeno.
“Satu banding sejuta,” jawab Jeno asal, tidak mau repot-repot memberi jawaban yang memuaskan untuk sobatnya.
Dan bukannya protes dengan jawaban yang Jeno berikan, Jeno malah bingung dibuatnya sebab Jaemin hanya menganggukkan kepala.
Bukan apa-apa. Pikiran Jaemin hanya sedang tidak pada tempatnya. Sebab tadi, sesaat setelah Jeno memulai ceramahnya, mata Jaemin sibuk bergerak memindai seisi kantin sekolah. Dan entah ini kebetulan atau bagaimana, pandangannya jatuh pada sosok yang seharian ini berlarian di pikirannya, tiba-tiba muncul di hadapannya.
Iya.
Renjun ada disana.
Laki-laki itu baru saja melangkah memasuki kantin sekolah sambil tertawa bersama Haechan di sampingnya.
Melihat itu, tanpa sadar, mata Jaemin ia bawa mengikuti kemana Renjun melangkah hingga laki-laki itu berhenti di satu sudut ruangan, duduk di bangku paling depan dekat dengan stand soto yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempatnya.
Ah.
Jaemin rasa keputusannya untuk ikut makan di kantin bersama Jeno siang ini adalah keputusan yang tepat, sebab siapa sangka kalau siang ini ia punya kesempatan untuk melihat wajah si karakter utama yang belakangan ini sering muncul di benaknya?
Dan entah kenapa, menurut Jaemin, ia mungkin saja akan mendapatkan pin Renjun hari ini sebab dirinya baru saja memutuskan bahwa setelah ini, siap tidak siap, ia harus memperkenalkan dirinya pada Renjun secara baik dan benar. Tidak boleh ditunda lebih lama.
Maka dari itu, sekarang apa yang dilakukan Jaemin?
Hanya diam. Sibuk memperhatikan Renjun yang kini terlihat berbincang dengan Haechan, bergerak-gerak, menyatukan jari telunjuk kanan dan kiri, lalu sedetik kemudian mengacungkan dua jarinya membentuk huruf V kepada Haechan. Jaemin tebak, mungkin Renjun sedang menjelaskan pesanannya karena setelah beberapa detik kemudian Haechan berdiri dari duduknya dan pergi meninggalkan Renjun sendirian.
“Samperin, gih,” ucap Jeno tiba-tiba, menyadarkan Jaemin dari lamunannya. “Mumpung udah sendiri, tuh.”
Mata Jaemin ia bawa menatap Jeno tepat di mata. Baru sadar ternyata dari tadi laki-laki itu juga memperhatikan tingkah lakunya.
Haduh. Jaemin rupanya tertangkap basah.
“Buruan, bego. Keburu temennya balik. Nanti bisa-bisa lo malah nggak bisa ngobrol jadinya.”
Berkat dukungan dari Jeno itu, Jaemin langsung berdiri. Memantapkan langkahnya untuk menghampiri Renjun di depan sana.
Benar. Dirinya sudah memutuskan;
Kalau nggak sekarang, kapan lagi ‘kan?
Tinggal dua langkah lagi hingga Jaemin sampai di hadapan Renjun, tapi langkahnya langsung tertahan. Sebab seseorang baru saja menyenggol bahunya dan sepersekian detik kemudian orang itu malah hampir tersungkur kalau saja tangan Jaemin tidak secara refleks bergerak menahan orang itu sebelum jatuh membentur lantai.
Namun sialnya, mangkok berisi soto yang dipegang orang itu malah terlempar dan mengenai Renjun yang ada di depannya.
Seketika tanpa Jaemin sadari, kakinya malah bergerak sendiri ke arah Renjun. “Renjun, lo nggak apa-apa?” tanyanya sesaat setelah berhasil menyentuh bahu Renjun.
Renjun yang ditanya demikian hanya mengedipkan matanya beberapa kali, masih terdiam karena keterkejutannya atas kejadian yang baru saja ia alami. “Ha?” Matanya kini beradu tatap dengan Jaemin. “Oh. Iya. Nggak apa-apa,” jawabnya kemudian mundur satu langkah.
Pandangan Renjun kini teralih menatap bagian bawah dari kameja putihnya, Jaemin yang masih memperhatikan juga melakukan hal yang sama.
Oh, tidak.
Kameja Renjun jadi kuning semua.
Jaemin jadi panik seketika. “Nggak mungkin lo nggak apa-apa. Itu panas ‘kan pasti?”
Lagi-lagi tanpa sadar dirinya bergerak sendiri ditariknya tangan Renjun untuk pergi menjauh dari keruman siswa yang entah sejak kapan sudah memperhatikan keduanya.
Dan disinilah mereka. Di dalam toilet siswa, berdiri di depan wastafel dengan Renjun yang masih sibuk membersihkan sisa-sisa makanan yang menempel di seragamnya.
Kesadaran Jaemin yang sempat melayang entah kemana, perlahan kembali pada tempatnya. Jaemin sedikit merutuk dalam hati, karena ia baru menyadari kalau dari tadi dia bergerak tanpa dia sadari.
Ini kalau Renjun anggap gue lancang gimana?
“Mau dicuci kayak gimana pun, kayaknya noda kuningnya nggak bakal hilang, deh.” Renjun akhirnya membuka suara memecahkan keheningan yang sejak tadi menemani keduanya.
“Liat,” kata Renjun, berbalik menghadap Jaemin sembari menarik ujung kameja yang ia kenakan. “Masih kuning. Nggak hilang-hilang.”
Jaemin alihkan pandangannya pada kameja Renjun yang sudah terlihat mengenaskan, kuningnya masih terlihat jelas disana. Sebelum akhirnya Jaemin bertanya. “Lo nggak bawa kameja dua?”
Renjun menggeleng. “Nggak, lah. Ngapain bawa kameja dua?”
Jaemin sentuh keningnya. “Ya … buat persiapan misal?”
“Persiapan kali aja tiba-tiba kena musibah?”
Atas perkataan Renjun barusan, Jaemin tertawa.
“Kenapa ketawa? Nggak ada yang ngelawak, deh, perasaan.”
Galaknya masih sama ternyata.
Perkatannya barusan ia pilih untuk disimpan dalam hati, kemudian diganti. “Emang nggak ada yang ngelawak.”
“Terus kenapa lo ketawa?”
Satu senyum terulas di wajah Jaemin kemudian dengan santai menjawab, “Lo lucu soalnya.”
Tanpa melihat respon Renjun, sedetik kemudian, Jaemin tarik ujung kameja yang laki-laki mungil itu kenakan dan untung saja Renjun tidak menolak. “Wah, masih kuning banget ternyata.”
Melihat itu, dengan sigap, Jaemin buka jaket yang sejak tadi ia kenakan lalu dipakaikannya pada Renjun yang masih diam di tempatnya.
Jika ditanya mengapa hari itu Jaemin mengenakan jaket, jawabannya adalah; siang itu, di jam mata pelajaran kedua, cuaca yang tadinya panas luar biasa, tiba-tiba berubah jadi dingin sebab hujan turun tanpa ia duga.
Beruntung tadi pagi Bunda sempat berkata, “Jangan lupa bawa jaketnya, dek. Mana tau nanti tiba-tiba hujan terus kamunya kedinginan.”
Meski tidak mendengarkan perkataan Bunda semalam, Jaemin cukup bersyukur karena tidak menyia-nyiakan pesan Bunda yang satu ini sebelum ia berangkat sekolah.
Kalau tidak, kesempatan untuk jaketnya dikenakan oleh Renjun seperti sekarang ini mungkin tidak akan pernah ada.
Alias, lihatlah. Renjun sekarang terlihat lebih mungil dari biasanya. Tubuhnya tampak tenggelam karena jaket Jaemin yang kebesaran telah ia kenakan.
Sungguh. Jaemin gemas dibuatnya.
Bunda, makasih banyak.
Renjun yang masih berdiri di tempatnya, hanya menatap Jaemin penuh tanda tanya. “Kenapa malah pakein jaket lo ke gue?”
Tersadar, Jaemin bergerak mundur satu langkah. “Ya … biar lo nggak ngerasa aneh aja.” Jaemin simpan satu tangannya ke saku celana sebelum kembali menjelaskan. “Kameja lo ‘kan kuning banget. Nanti takutnya lo risih kalau diliatin sama orang-orang.”
Mendengar itu, Renjun garuk belakang telinganya. “Iya juga, sih,” ucapnya sambil mengangguk-angguk. “Ya udah, kalau gitu … thanks, ya, Jaem.”
Jaemin mengangguk sekali. “Iya, nggak masa—” kemudian kalimatnya terpotong. Ia baru menyadari sesuatu. “Tunggu. Barusan apa?”
“Apanya?”
“Itu … lo tadi bilang apa?”
“Thanks?”
“Nggak-nggak,” sangkal Jaemin, ia mengibas-ngibaskan tangannya. “Yang terakhir.”
Renjun mengernyit dibuatnya. “Apa sih? Gue tadi bilang thanks, Jaemin. Emang lo mau denger kalimat gue yang mana?”
“Lo tau nama gue?”
“Iya, lah.”
Satu kali
Dua kali
Tiga kali
Berkali-kali Jaemin kedipkan matanya, tidak percaya. “Tau dari mana?”
Atas pertanyaan Jaemin itu, Renjun terkekeh. “Ratu perak ‘kan? Temen Haechan?”
Ah, sial. Kenapa harus yang itu?
“Si cowok nugget?” Renjun melanjutkan.
Dua alis Jaemin terangkat. “Cowok nugget?”
“Ah..” Salah tingkah, Renjun sentuh pelipisnya. “Karena waktu itu hari pertama MOS lo jelasin tentang nugget, pas gue kasih makan kucing pake itu di depan sekolah.”
Dan detik berikutnya, Jaemin tertawa dibuatnya.
Cowok kucing dan cowok nugget.
Ternyata Jaemin dan Renjun sama-sama punya istilah untuk keduanya.
Lucu banget.
“Terus tadi juga, itu sebenarnya topi lo ‘kan?”
Jaemin yang tadi sempat tertunduk karena salah tingkah, perlahan kembali menatap Renjun tepat di mata. “Kok tau?”
“Topi gue di dalamnya nggak ada tulisan, 'Na Jaemin', soalnya.”
Lagi, Jaemin tertawa dan Renjun turut serta.
Bagaimana bisa Jaemin lupa kalau topinya jelas ada namanya?
Aduh, ini sih Jaemin jelas ketahuan bohongnya.
Namun, bukannya marah, Renjun malah berkata, “Thanks buat hari ini, ya Jaem.” Sambil tersenyum, Renjun balas tatapan Jaemin tepat di mata. “Lo udah nolong gue dua kali.”
Jadi, apa sekarang sudah saatnya bagi Jaemin meminta pin Renjun?
Baiklah, sebelum semuanya terlambat. Maka—
“Gue minta pin lo, boleh?”
Bukan. Itu bukan Jaemin yang membuka suara.
“Biar gampang gue hubunginnya kalo nanti gue mau balikin topi sama jaket lo.”
Harusnya itu bagian Jaemin, tapi kenapa malah Renjun yang mengatakannya?
Untuk itu, Jaemin diam beberapa saat, sibuk mencerna apa yang baru saja ia dengar, setengah tidak menyangka bahwa Renjun lah yang pertama kali meminta.
“Tapi, kalau privacy, nggak apa-apa, deh. Nanti gue langsung antar ke kelas lo aja.”
Oh, tidak. Kesempatan tidak boleh lagi Jaemin lewatkan.
Dengan cepat, Jaemin berucap. “Pin lo aja, Ren. Nanti gue yang invite.” Jaemin tatap Renjun sembari melempar senyum. “Kalau lo nggak keberatan gue boleh jadi bagian dari kontak lo nggak?”
Dan atas pertanyaan Jaemin yang satu itu, seketika Renjun tertawa.
Ternyata dari kemungkinan satu banding sejuta, peluang untuk mendapatkan pin Renjun hari itu juga, benar-benar datang padanya tanpa pernah Jaemin duga.
Jaemin ingat.
Hari itu, untuk pertama kalinya Jaemin merasa bahwa ia tidak pernah seberuntung ini sebelumnya.
**
©beyellowed