Back in Time; Bagian 4.1 — Kangen

8 Tahun yang lalu, 23 Oktober 2014

Jaemin mendorong pintu utama Huang Café and Bakery, kafe dan toko roti yang tiga bulan terakhir ini sering ia kunjungi. Letaknya berada tepat di samping rumah laki-laki manis yang selama tiga bulan ini selalu menemani.

Jika ditanya kenapa nama kafe ini mirip dengan marga Renjun, maka jawaban yang tentu Jaemin akan berikan adalah; benar, ini kafe milik keluarga Renjun.

Jaemin ingat pertama kali menginjakkan kaki di kafe ini, ia kaget bukan main sebab Renjun sama sekali tidak memberi tau tentang ia yang ternyata adalah anak pemilik kafe yang cukup terkenal dan ternyata sudah memiliki cabang dimana-mana.

Satu fakta itu sempat membuat Jaemin berpikir puluhan kali untuk mendekati Renjun sebab ia tak ingin disangka mengincar kekayaan laki-laki itu. Sebuah pemikiran yang tiada berguna sebenarnya. Sungguh.

Awalnya, untuk datang ke kafe ini, Jaemin sering kali merasa sungkan sebab setiap kali datang, Jaemin pastilah akan membawa pulang roti dan berbagai macam kue secara gratis tanpa pernah ia minta.

Seperti sekarang ini.

“Jaemin, nanti kuenya kamu ambil sendiri aja, ya, pas mau pulang.” Itu kalimat pertama yang ia dengar saat kakinya berhenti tepat di depan counter dimana seorang wanita paruh baya berdiri di baliknya.

Jaemin terkekeh sebelum akhirnya berkata, “Baru juga sampe, Tan. Masa udah disuruh bungkus kue, sih?”

Mendengar gurauan Jaemin, wanita itu tertawa. Ia atur kacamata yang bertengger di atas hidungnya, sebelum beralih menatap Jaemin. “Maksudnya, tante ingetin sebelum kamu lupa.”

Jaemin menggeleng. “Nggak bakal lupa, nyonya Huang,” kata Jaemin, satu senyuman manis ia ulas saat itu juga.

Nyonya Huang hanya mengangguk sekali. “Hari ini belajar lagi?” tanyanya sembari bergerak mengikat apron warna pink yang ia kenakan saat itu.

Jaemin mengangguk sebagai jawaban kemudian detik selanjutnya ia tolehkan kepala ke kiri dan kanan. Matanya bergerak memindai seisi kafe yang saat ini terisi—lebih dari setengah kuota penuh—oleh pengunjung sebelum kembali menatap Nyonya Huang. “Hari ini lagi rame banget, ya, Tan?”

“Iya, rame.” Nyonya Huang keluar dari counter, berjalan mendekati Jaemin kemudian berdiri di sampingnya. Sambil berjinjit, Nyonya Huang selanjutnya berbisik. “Soalnya pelanggan pada tau kalau Jaemin bakal datang hari ini.”

Dan Jaemin tertawa dibuatnya. “Wah, berarti Jaemin udah ditunggu daritadi, ya?”

Nyonya Huang mengangguk antusias. “Si Injun juga dari tadi nungguin kamu,” bisiknya lagi. Wanita paruh baya itu menengok sedikit ke belakang, matanya masih mengarah kesana sebelum kembali berkata, “Soalnya tumben-tumbenan kamu hari ini nggak ngasih kabar katanya.”

“Mama!” seru Renjun. Suara itu berasal dari balik etalase yang berisi macam-macam roti dan kue, matanya terlihat mengintip di antara etalase, menatap garang ke arah Nyonya Huang dan Jaemin secara bergantian.

Lucu.

Dari sini Jaemin dapat melihat dengan jelas bagaimana pipi laki-laki manis itu terlihat membulat dengan bibir mengerucut.

Sungguh.

Renjun benar-benar lucu.

“Lho? Kenapa kamu?”

Renjun berdecak kesal. Ia kemudian keluar sepenuhnya dari balik etalase berjalan menghampiri Nyonya Huang dan Jaemin yang masih berdiri di tempatnya.

“Nah, ini dia nih, Jaem, yang dari tadi paling nungguin kamu.” Tangan Nyonya Huang langsung melingkar di pinggang Renjun yang sekarang terlihat salah tingkah.

Mendengar itu, Renjun tentu saja langsung mengibaskan tangannya di udara. “Bohong, Jaem,” sangkal si manis kemudian, kini berusaha melepaskan rangkulan Nyonya Huang dari pinggang. Setelah berhasil lepas, ia bawa matanya kembali menatap Jaemin. “Mama tuh, yang paling nungguin lo, Jaem. Soalnya Mama mau minta tolong katanya.”

“Aduh, iya deh, iya.” Nyonya Huang terkekeh kecil, tangannya sekarang bergerak menepuk-nepuk apronnya sendiri. “Biasalah yang paling kangen emang paling nggak mau ngaku,” lanjutnya kemudian wanita itu kedipkan sebelah mata ke arah Jaemin. “Iya, nggak, Jaem?”

Jaemin lagi-lagi tertawa dibuatnya sedang Renjun mulai menggerutu lagi. Tidak terima atas perkataan ibunya barusan. Melihat reaksi Renjun, Jaemin sedikit berharap bahwa apa yang dikatakan Nyonya Huang barusan adalah benar. Lagi pula tidak ada salahnya berharap ‘kan?

Si manis kemudian tarik pergelangan tangan Jaemin, dibawanya laki-laki itu ke salah satu meja yang kosong, tidak jauh dari counter dimana Nyonya Huang berada.

Alih-alih membiarkan kedua pemuda itu tenang, beberapa detik kemudian Nyonya Huang malah kembali bersuara. “Hari ini seperti biasa ‘kan, Jaem?”

Jaemin menoleh, kedua sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah senyuman hangat. “Iya. Abis dengerin Renjun bilang kangen dulu baru Jaemin siap-siap, ya, Tan.”

Secara otomatis, Renjun tepuk pundak Jaemin sedikit keras membuat laki-laki yang lebih tinggi darinya itu sedikit mengadu. “Berisik ah, Jaem,” gerutunya membuat Jaemin malah tergelak.

“Hari ini Jaemin datang buat belajar, Ma.” Sekarang Renjun beralih menghadap Nyonya Huang lagi sembari tangannya bergerak mengikat kencang tali apron berwarna kuning yang ia kenakan sejak tadi. “Jadi, nggak bisa bantu-bantu dulu,” lanjutnya.

Mendengar itu, Jaemin yang sudah duduk di salah satu kursi, secara otomatis mendongak, menatap Renjun yang masih berdiri di depannya. “Kata siapa?” Detik berikutnya, Jaemin menoleh ke arah Nyonya Huang. “Jaemin bisa kok, Tan.”

“Tuh, Jaeminnya aja bisa,” sambung Nyonya Huang, ia atur kacamatanya lagi.

Atas ucapan Nyonya Huang barusan, Renjun mendesis, ia garuk pelipisnya sambil meringis. “Lo ‘kan datang kesini buat belajar.”

Seketika itu pula, Jaemin menjetikkan jarinya di udara. “Justru itu,” katanya, ia bawa tubuhnya menyender pada kursi, air mukanya berubah menjadi lelah atau lebih tepatnya dibuat demikian rupa agar Renjun percaya. “Gue capek banget belajar, Ren. Tadi, sebelum kesini gue harus kerjain tugas Bu Citra dulu, disuruh sama Bunda.”

“Terus udah makan?” tanya Renjun sambil melangkah kembali ke arah etalase kue.

Jaemin memperhatikan dari tempatnya, melihat Renjun mulai mengambil beberapa kue lalu di letakkan di atas nampan. “Terakhir makan …” ia bergumam sejenak sebelum kembali melanjutkan. “Semalam kayaknya.”

Sepersekian detik berikutnya, Renjun kembali, meletakkan nampan yang sudah terisi berbagai macam kue di atas meja. “Kenapa? Ada yang larang lo makan?”

Jaemin menggeleng. “Hari ini sibuk banget, Ren,” keluhnya kemudian meraih kue wortel yang paling bisa ia makan dari semua kue yang ada, sebab menurutnya rasa dan aroma kayu manisnya menjadikan kue itu memiliki rasa paling nikmat di banding yang lainnya.

Ah, bukan berarti kue lainnya tidak enak.

Harus Jaemin akui, kue buatan Nyonya Huang sungguh tiada tandingannya, semuanya benar-benar enak. Hanya saja Jaemin memang tidak terlalu suka kue. Ia jadi sering mengkonsumsi makanan yang manis itu sejak intensitas berkunjungnya ke kafe Renjun menjadi lebih sering sejak mereka mulai menjadi teman bermain dan belajar bersama.

Lagi pula ketika disuguhi makanan manis oleh orang yang ia kasihi, mana mungkin ia tolak bukan?

“Bukan berarti lo nggak punya waktu kosong buat makan ‘kan?” Sekarang Renjun letakkan secangkir teh melati kesukaannya di atas meja. Ia dorong cangkirnya ke arah Jaemin. “Hari ini minum teh dulu, jangan kopi. Takutnya nanti lambung lo marah,” katanya kemudian.

Jaemin terkekeh mendengar penuturan Renjun perihal lambungnya yang akan marah. Lucu. Jaemin gemas dibuatnya. Ah. Kenapa lucu sekali? Dari pada melahap kue, tidak bisakah ia melahap pipi bulat laki-laki manis itu?

“Waktu kosongnya gue pake buat bantuin Bunda dulu tadi,” jelas Jaemin atas pertanyaan Renjun yang tadi.

Renjun mengangguk-angguk. “Pantasan lo lama banget datangnya. Mana tadi nggak ngabarin sama sekali,” ucapnya, ia ketuk jari telunjuknya di atas meja beberapa kali seperti sedang menimbang-nimbang sebelum melanjutkan kalimatnya. “Makanya, gue kira hari ini lo nggak jadi datang.”

Mendengar itu, senyum Jaemin melebar. Ia berdeham sejenak sebelum berkata, “Oh, bener ternyata kata Tante.”

Sukses membuat satu alis Renjun terangkat. “Apaan?”

“Lo kangen gue.”

Berkat tiga kata yang Jaemin lontarkan itu, serbet yang tadi ada di tangan Renjun berhasil mendarat sempurna di wajah Jaemin.

“Mending lo keluarin buku sekarang juga terus kita mulai belajar.”

“Bilang kangen dulu, Ren. Baru gue buka buku.”

Mengabaikan Jaemin, Renjun berdiri dari duduknya. “Ya udah, hari ini nggak jadi belajar,” katanya sembari berlalu dari hadapan Jaemin.

Melihat itu, Jaemin ikut berdiri. “Kalau gitu, gue aja yang bilang,” ia mengekor di belakang Renjun. “Gue kangen lo, Ren. Lo nggak kangen emangnya?” tanyanya dari balik punggung si manis.

Renjun berbalik, ia sodorkan apron berwarna mint ke arah Jaemin. “Bener kata Mama. Mending hari ini lo langsung bantuin layanin pelanggan aja dari pada ngomong yang nggak-nggak.”

Dan Jaemin tergelak saat itu juga.

Benar kata Nyonya Huang, yang paling rindu sudah pasti yang paling tidak mau mengakui perasaannya.

Tadinya Jaemin merasakan hal itu, ia rindu dengan laki-laki yang seharian ini tidak ia kabari dan Jaemin sempat tidak ingin mengakuinya mengingat baru sehari mereka tidak berjumpa. Namun, ketika Renjun sudah di depan mata, ia sendiri tidak bisa menahan perasaannya. Dan entah bagaimana, Jaemin juga dapat merasakan bahwa Renjun juga memiliki rasa yang sama.

**

©beyellowed