Back in Time; Bagian 6.1 — Janji

tw / cw : mention of death , nightmare

2 minggu berlalu sejak Renjun menyatakan bahwa ia ingin Jaemin menjadi saudaranya. Iya, saudara. Rasanya Jaemin ingin tertawa berkali-kali mengingat nasibnya sekarang bukan lagi terjebak dalam—apa sih istilahnya? friendzone, ya? Iya, itulah pokoknya, melainkan 'kakak-adek zone' kalau kata Bunda.

Sigh

Setelah apa yang telah dia lakukan selama ini demi mengejar sang cinta, rasanya Jaemin ingin menyerah.

Niat sih, sudah ada. Tapi, kenapa rasanya tidak bisa? Apalagi kala ia melihat Renjun di depan mata, sungguh Jaemin tidak bisa bersikap tidak peka. Pasalnya, si pujaan hati kelewat sering menyapa seperti sebelum-sebelumnya, mau menghindar pun rasanya percuma karena Renjun ada dimana-mana. Meski sudah berusaha untuk tidak bertegur sapa, pada akhirnya Jaemin dan Renjun berjumpa juga.

Seperti sekarang, Renjun berdiri lima langkah di depannya, menatap Jaemin tepat di mata.

“Lo kenapa?” tanyanya sesaat setelah Jaemin menghentikan langkah. Terdengar hembusan nafas berat dari sana, sebelum akhirnya Renjun berkata. “Ini gak mungkin perasaan gue doang. Lo pasti menghindar dari gue ‘kan?”

Ketara banget, ya?

Jaemin simpan tangan kanannya di saku celana, ia alihkan matanya ke segala arah mencoba menghindar dari tatapan si cinta lalu kemudian ia tertawa sumbang sebelum akhirnya berkata. “Siapa yang menghindar, sih, Ren?”

“Lo.”

“Gue ngg—”

“Lo iya,” potong Renjun cepat. “Lo menghindar, Jaem. Orang bego mana, sih, yang nggak sadar sama perubahan sikap lo 2 minggu ini?”

Sejujurnya ia pun sudah lelah harus berpura-pura, jadi … apa harus ia katakan saja?

Lagi, Jaemin buang nafas beratnya.

“Maaf,” katanya. Iya, itu saja. Sebab Jaemin juga bingung harus berkata apa.

“Kenapa?”

Jaemin mengangkat kepala, ia tatap Renjun tepat di mata sebelum akhirnya berkata. “Maaf karena hindarin lo.”

Sedetik kemudian Renjun membuang muka. “Kenapa?” tanyanya pelan.

“Karena … karena gue rasa gue gak bisa harus tetap temenan sama lo.”

Satu detik

Dua detik

Tiga detik

Renjun tidak bersuara. Laki-laki itu memilih diam untuk waktu yang cukup lama membuat Jaemin pun turut serta. Di tengah hening keduanya, hanya ada suara bincang-bincang dari setiap orang yang berlalu lalang, alunan lagu natal, kembang api yang sesekali saling bersautan sembari menunggu waktu berubah menjadi pukul dua belas.

Jaemin sendiri terlanjur menyesali perkataannya. Harusnya ia tidak berkata demikian karena Renjun pasti bisa saja salah dalam mengartikan. Tapi, bagaimana, ya harus Jaemin jelaskan? Entah kenapa sekarang otaknya tidak dapat berfungsi semestinya.

“Maaf, Ren,” ucap Jaemin pada akhirnya. “Gue tau gue payah banget, tadinya gue rasa gue mampu tapi gak tau kenapa makin kesini gue ngerasa gue gak bisa kalau harus temenan sama lo,” jelasnya. Jaemin kunci tatapannya dengan Renjun yang masih berdiri di depannya.

Oh, baiklah. Rasanya Jaemin tidak bisa lagi menunda-nunda, sebab kalau tidak sekarang kapan lagi waktunya? Untuk itu, ia tarik nafas panjangnya. “Maaf, tapi gue bener-bener gak bisa karena gue sendiri ngerasa gue gak mampu harus tetap temenan sama orang yang gue suka. Gue gak bisa, Ren. Setiap hari yang ada gue makin serakah. Rasanya—”

“Bentar. Lo—” potong Renjun, lagi. Air mukanya berubah dan Jaemin sulit mengartikannya. “Lo apa?” tanyanya kemudian.

Jaemin menelan ludah susah payah, sepertinya ia salah.

Arghh, bego Jaemin!

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Jaemin merasakan dirinya tidak tenang luar biasa. Seiring waktu berjalan, detak jantungnya bahkan makin menggila .

“Bego!”

Iya, Jaemin tau itu. Katakan saja semuanya.

“Lo suka sama gue?”

“Iya.”

“Lo gak bercanda ‘kan, Na Jaemin?”

“Gue gak bercanda, Renjun. Gue beneran suka sama lo. Gue cinta sama lo.”

“Lo bilang lo suka gue, lo cinta gue… terus kenapa … kenapa lo biarin gue mati?

Dan seketika itu pula Jaemin tersentak, matanya terbuka lebar, nafasnya terengah, keningnya basah oleh keringat, jantungnya berdetak dengan cepat memompa darahnya mengembalikan Jaemin pada kesadarannya.

Sekali.

Dua kali.

Berkali-kali ia kedipkan mata, menatap sekelilingnya yang gelap gulita kemudian menoleh ke arah sumber cahaya dari ponsel yang ia simpan di atas meja.

Jaemin mengangkat tubuhnya perlahan, ia raih ponselnya yang bergetar tak keruan dari sana, membaca nama yang tertera pada layar, menggesernya sekali kemudian muncul suara. “Jaemin? Kamu udah tidur, nak?

Jaemin seketika membuang nafas lega. Dari balik sana, suara lembut Bunda menyapa telinga. “Kamu baik-baik aja ‘kan, sayang?”

Jaemin menelan ludah. “Iya, Bunda. Nggak usah khawatir, Jaemin baik-baik aja, kok.”

Orang kalo ngomong tapi pake ‘kok’ artinya bohong, tau.

Suara Renjun terlintas saat itu juga.

“Jaemin, anak Bunda. Kamu nggak sendirian, sayang.”

Ah, tidakkah Bunda tau kalau Jaemin sudah terlalu lelah untuk mengeluarkan air mata?

“Jaemin tau ‘kan kemana harus pulang? Jangan maksain diri, ya, nak? Bunda sama Ayah ada disini.”

Tuhan.

Susah payah Jaemin susun hatinya yang berantakan, tapi kenapa pada akhirnya runtuh juga? Bunda, kalau Jaemin bisa, rasanya Jaemin ingin mencurahkan semua kesedihannya, tapi untuk melakukan itu semua rasanya Jaemin tidak pantas, Bunda. Jaemin harus apa? Menyesali perbuatannya juga percuma.

Pada akhirnya Jaemin hanya anggukkan kepala. “Iya, Bunda, Jaemin ngerti. Makasih banyak, ya, Bun.” Dan sambungan telepon pun terputus saat itu juga.

Jaemin menatap ponselnya yang masih menyala, menampilkan gambar Renjun yang ia ingat betul kala itu ia ambil saat mereka liburan ke rumah Oma.

Indah.

Renjunnya selalu indah.

Jaemin pernah berjanji akan membawa Renjun ke semua tempat yang ia suka, ke rumah Oma, ke pantai, ke kebun teh, mendaki gunung atau apapun itu yang sudah Renjun rencanakan bersamanya.

Jaemin bahkan pernah berjanji, ia akan terus menyukai Renjun, membahagiakannya dan akan tetap menyatakan cinta di setiap harinya.

Namun, janji tinggallah janji. Jaemin tidak sempat menepati semuanya.

“Maaf,” ucap Jaemin parau. Perlahan ia genggam ponselnya dengan erat, melampiaskan seluruh perasaannya, “Maafin aku, Renjun.” Suaranya bergetar seiring dengan bahunya juga berguncang, ia peluk lututnya dengan erat sembari menundukkan kepala membiarkan air matanya mendobrak keluar membasahi pipi dan tangannya.

Harusnya Jaemin menepati janjinya.

Harusnya Jaemin membuat Renjun bahagia.

Harusnya Jaemin ada untuknya.

Tuhan.

Jaemin sungguh sangat terluka.

**

© beyellowed