Back in Time; Bagian 8 – Rasa yang telah mati
“Aku cinta kamu.”
Entah sudah berapa lama kalimat itu tak lagi keluar dari mulut Jaemin, pun sekadar melalui pesan singkat juga tak pernah lagi ia utarakan.
Dan jika ditanya apa alasannya … entahlah. Jaemin juga ingin mengetahuinya.
Jika boleh jujur, Jaemin ingin mengetahui apa yang sebenarnya ia rasa. Ingin mengerti bahwasanya setiap kali Renjun mengungkapkan cintanya, kenapa hati Jaemin tidak lagi menghangat seperti biasa? Dan kenapa pula dirinya sulit untuk mengatakan hal yang sama?
Pun sama halnya dengan saat ini. Jaemin ingin tau, kemana perginya perasaan menggebu yang kerap ia rasakan ketika nama Renjun muncul menghiasi layar ponselnya?
Sungguh. Jaemin ingin mengetahuinya dan jelas apa yang saat ini ia rasa bukanlah jawabannya.
Getaran ponsel Jaemin sudah terdengar menghiasi seisi ruangan sekitar lima belas menit lamanya, menimbulkan suara yang cukup menjengkelkan karena getarnya beradu dengan meja.
Jaemin hanya meliriknya sekilas, membiarkan ponsel itu tetap menyala hingga berhenti dengan sendirinya. Membuat Jeno yang berada di ruangan yang sama cukup kesal melihat Jaemin yang seolah tak mau repot untuk mengindahkan panggilan Renjun padanya.
Oh, ayo lah, Jeno sudah cukup merasa terganggu akibat ulah sahabatnya. Tidak bisakah ia dibiarkan tenang sambil bekerja?
Dan pada panggilan yang entah ke berapa, Jeno pun membuka suara. “Na Jaemin! Angkat telfon lo!”
“Gue lagi sibuk,” jawab Jaemin seadanya, membuat Jeno berdecak kesal.
Demi Tuhan, Jeno tidak lagi mengerti kenapa seorang Na Jaemin semakin hari semakin menyebalkan. Tidakkah Jaemin sadar dengan apa yang selama ini ia lakukan?
“Renjun nelfon lo udah lebih dari sepuluh kali dan lo masih nggak mau angkat juga?!” bentaknya kemudian. “Gue beneran gak mau peduli apa masalah lo, tapi bisa nggak suara hape lo nggak ganggu gue kerja?!”
Atas apa yang Jeno utarakan barusan, tidak ada respon apapun dari si lawan bicara, pada akhirnya Jeno putuskan untuk bertindak semaunya. Diraihnya ponsel Jaemin yang terletak tepat di sampingnya, mengusap tombol berwarna hijau, menerima panggilan dari Renjun dan menekan tombol pengeras suara.
Tidak perlu waktu lama hingga suara Renjun terdengar dari balik sana. “Halo? Jaemin?” berhasil merebut atensi Jaemin membuatnya berhenti melakukan segala pekerjaannya.
Dengan cepat Jaemin rampas ponsel dari tangan Jeno sembari menatapnya tidak suka.
“Jaemin?”
Jaemin membuang nafas beratnya, sedikit memijat pelipisnya, mematikan pengeras suara dan menempelkan ponselnya pada telinga.
“Kenapa telfonku baru diangkat?” tanya Renjun membuat perasaan jengkel seketika muncul menggerogoti hati Jaemin. Ia alihkan pandangannya pada Jeno sembari mengepalkan tangannya di udara.
“Kamu sibuk, ya?”
Jaemin bergumam sebagai jawaban.
“Ah. Maaf.” Suara Renjun sedikit bergetar. “Aku ganggu, ya?”
Hening. Jaemin hanya diam, tidak tau harus merespon apa. Meski dalam hati Jaemin berkata iya, dia masih cukup waras untuk tidak mengatakannya.
“Jaem…., akhir-akhir ini kamu ngapain?” tanya Renjun terdengar hati-hati. Ada jeda sejenak sebelum akhirnya ia kembali bicara. “Nggak ada yang mau kamu ceritain? Kayaknya udah lama nggak sih, kita nggak ketemu?” Atas apa yang Renjun katakan barusan, Jaemin tau kemana pembicaraan ini akan mengarah. “Hari ini … bisa ketemu? Aku kangen.”
Mata Jaemin yang semula memandang layar komputer di hadapannya, kini bergerak mengarah sedikit ke atas. Memandang kekosongan yang entah apa. Kekosongan yang sama dengan apa yang ia rasa.
Energinya seolah terkuras hanya dengan mendengar sepenggal kalimat yang Renjun sampaikan padanya.
Jaemin hanya mendesah lelah. “Aku lagi sibuk.”
Lagi. Renjun diam untuk beberapa lama, mungkin sedang menyiapkan kata yang Jaemin sendiri bisa menduga bahwasanya laki-laki itu pasti akan memaksa. Namun, pada detik berikutnya, Renjun hanya berkata. “Ah. Oke.” Kemudian tiga detik berikutnya terdengar helaan nafas panjang dari balik sana. “Kalo gitu … semangat ya, kerjanya. Jangan lupa makan …,” kata Renjun kembali memberi jeda. “Aku cinta kamu.”
Dan Jaemin sekali lagi hanya bergumam, tidak mau repot membalas kalimat panjang yang ia terima dan tanpa menunggu waktu lama, Jaemin matikan sambungan telfon, menekan tombol hening lalu kembali menyimpannya di atas meja.
Melihat itu, Jeno yang sejak tadi menaruh atensi padanya pun bicara. “Lo sadar nggak sih, kalau sikap lo belakangan ini bikin Renjun sakit hati?”
Tentu saja.
Jaemin cukup sadar.
Tapi, ketika kalimat penyemangat yang biasa ia terima dan ungkapan cinta yang selalu ia dengar tidak lagi memberikan efek apa-apa bagi hatinya, bagaimana harus Jaemin jelaskan?
Ketika segala petuah-petuah dari Renjun yang selama ini jadi makanan sehari-hari baginya mulai terasa menyebalkan, bagaimana harus Jaemin jelaskan?
Jeno mana mungkin memahaminya?
“Lo nggak selingkuh ‘kan, Jaem?”
Pandangan Jaemin yang sempat tertunduk seketika ia bawa kembali menatap Jeno tepat di mata. “Lo kira gue cowok apaan?”
“Terus kenapa?”
Apa?
Apanya yang kenapa?
“Kenapa lo jadi kayak gini?” Dan atas apa yang Jeno tanyakan, Jaemin tertegun dibuatnya.
Untuk kesekian kalinya, lagi-lagi Jaemin hanya bisa menghela nafas beratnya. Ia bawa punggungnya pada sandaran kursi seolah melepaskan beban yang sejak tadi tertumpuk di pundaknya. “Gue cuma ….,” Kemudian ia kembali menghadap komputer yang masih menyala sebelum akhirnya berkata. “Bosan.”
Berkat apa yang keluar dari mulut Jaemin itu, Jeno tertawa sumbang, mencemooh jawaban Jaemin yang sungguh tidak masuk akal. “Lo ingat gak sih, dulu lo ngejar Renjun kayak gimana? Ngaco lo!” Jeno ikut bersandar pada kursi. “Usaha lo sekeras apa, masa lo lupa sih, Jaem?”
“Gue gak lupa, Jen. Gue gak lupa!” Jaemin menggeram. Ia sudah cukup frustasi dengan perkataan Jeno padanya, terlebih lagi pada dirinya sendiri sebab apa yang ia rasa, baginya sudah cukup membingungkan. “Lo nggak bakal ngerti apa yang gue rasa. Lo nggak bakal tau gimana rasanya jadi gue yang tiba-tiba malas ketemu dia, gak mau denger suara dia, bahkan buat balas pesan dia atau keinget dia juga gue malas, Jen. Lo nggak bakal ngerti!”
Dan atas apa yang Jaemin nyatakan, Jeno mendengus. “Kalo lo lupa. Renjun itu cowok baik, Jaem.”
“Gue tau.”
“Dia setia sama lo.”
“Gue tau.”
“Dia sayang sama lo”
“Gue tau!” Suara Jaemin meninggi. “Gue lebih tau semua tentang Renjun dari apa yang lo—dan bahkan lebih dari apa yang Haechan tau tentang Renjun.” Selanjutnya, Jaemin mengerang. “Gue tau semuanya. Gue tau.” Tangan Jaemin kini bergerak mengusap wajahnya, sungguh ini mulai terasa menyesakan. “Gue cuma mau Renjun kasih gue ruang buat sementara. Gue cuma mau tanpa dia. Bahkan kalo boleh gue minta, gue pengen dia nyerah, gue pengen dia pergi.”
Lagi. Jeno mendecih. Laki-laki itu terlihat menggelengkan kepala, mungkin ia sendiri tidak habis pikir dengan apa yang baru saja Jaemin katakan seolah-olah apa yang keluar dari mulut Jaemin adalah omong kosong belaka. Rasanya tidak mungkin pernyataan itu bisa keluar dari mulut seorang Na Jaemin yang Jeno sendiri tau bagaimana usahanya.
Untuk itu, Jeno putuskan untuk tidak lagi membantah. “Semoga lo cepet sadar, deh,” katanya kemudian meninggalkan Jaemin dengan seluruh rasanya yang telah mati, tanpa pernah ia tau secepat apa waktu bergerak hingga menyerang Jaemin yang terlambat menyadari kesalahannya.
**
©beyellowed