Jaemren oneshot AU; Reset

tw // suicidal thoughts ,mention of suicide attempt(s) , hinted of dysfunctional family

Kala itu, ketika Renjun berusia 5 tahun, Renjun pernah dengar bahwa katanya ulang tahun adalah hari yang paling bahagia. Apalagi ketika usiamu mulai mencapai angka-angka istimewa. Seperti ketika kau berusia 7 tahun; usia dimana untuk pertama kalinya kau menjadi murid sekolah dasar. Ketika kau berusia 10 tahun; usia dimana kau mulai memasuki masa remaja. Ketika kau berusia 17 tahun; usia dimana kau yang remaja mulai beranjak dewasa atau ketika kau berusia 20 tahun; usia dimana kau benar-benar akan mengetahui apa itu dewasa yang sesungguhnya.

Dulu Renjun penasaran, sensasi apa sebenarnya yang akan dia rasakan ketika menginjak usia-usia istimewanya itu. Apakah rasanya akan seperti yang sering kali dia dengar dari cerita orang-orang di sekitarnya? Atau lebih hebat lagi?

Katanya ulang tahun memang menyenangkan, kau bisa membuat permohonan, mendapat hadiah, dikelilingi banyak teman serta menerima berbagai ungkapan kasih. Semua orang akan datang dan turut berbahagia dan mereka akan bernyanyi bersuka cita bersama.

Renjun pernah berekspetasi setinggi itu.

Tapi, ketika usianya menginjak angka 20, Renjun akhirnya menyadari. Ternyata setiap tahunnya tidak ada bedanya. Rasanya sama saja. Sensasi-sensasi yang pernah dia bayangkan kala berusia 5 tahun, nyatanya tidak pernah terjadi karena sejatinya Renjun tidak pernah benar-benar bahagia saat hari itu tiba.

Pada kesempatannya yang ke-20, Renjun pernah berharap, bahwa setidaknya sekali seumur hidup ia akan berbahagia di usianya yang ke-21. Dimana ia akan beranjak dewasa, hidup seperti apa yang dia inginkan, dan mencapai semua mimpi yang sejak dulu selalu dia kantongi dan dibawa kemanapun dia pergi. Iya, Renjun benar-benar ingin mencapai hal itu.

Namun lagi-lagi semuanya sama saja. Tidak ada yang berubah. Renjun masih sama.

Pernah suatu malam, Renjun tersadar, melihat ke belakang sembari menyatukan kepingan-kepingan memori yang entah sejak kapan mulai memudar dengan tidak sopannya perlahan mulai terlihat jelas lagi.

Pada momen itu, akhirnya Renjun pun menyadari bahwa ternyata selama ini dia tidak benar-benar baik-baik saja.

Setelah kepingan-kepingan memori itu menjadi satu, semuanya semakin terasa jelas. Bahwa hidupnya menyakitkan dan ia sendirian … kesepian.

Menjadi anak satu-satunya tidak menjadikan Renjun manusia paling istimewa, karena sejatinya Renjun bukanlah bagian dari keluarga bahagia, bukan juga dari keluarga berada dan bahkan bukan dari keluarga yang baik-baik saja.

Menjadi orang yang ramah pun tidak menjadikan Renjun memiliki banyak teman, karena pada akhirnya Renjun tidak punya siapa-siapa pun teman untuk bercerita tentang hari yang ia jalani setiap harinya.

Oh atau setidaknya ia punya.

Jaemin.

Benar, ia punya laki-laki itu.

Bukan. Jaemin bukanlah sekadar teman biasa.

Laki-laki itu entah bagaimana masuk dalam dunia Renjun, perlahan mewarnai hidupnya yang hampir pudar tak berwarna, mengisinya dengan tinta-tinta berwarna tanpa pernah Renjun minta.

Iya, setidaknya dengan Jaemin ia merasa ada.

Jaemin menjadi orang pertama yang mengetahui semua rahasia yang ia punya, menjadi orang pertama yang dengan sungguh-sungguh menerima semua kekurangannya, menjadi orang pertama yang mendukungnya kala ia susah.

Bahkan ketika Renjun ditinggal untuk selamanya oleh figure — yang seharusnya — nomor satu dalam hidupnya, Jaemin menggantikannya.

Renjun tidak bisa memungkiri bahwa Jaemin memang selalu ada.

Jaemin benar-benar ada, bahkan pada titik terendahnya.

Seharusnya Renjun bahagia.

Tapi, entah kenapa, Renjun tetap merasa kesepian, sendirian, hampa dan lelah.

Dan ketika Jaemin tidak bisa lagi menjadi alasannya, lalu apa yang selanjutnya harus ia lakukan?

“Jaemin,” panggil Renjun, matanya memandang langit-langit kamarnya kala itu.

Jaemin berdeham, “Kenapa?”

“Hidup kayak game atau kayak ponsel kayaknya seru, ya?” tanya Renjun kemudian, posisinya masih sama. Yang ditanya kini sepenuhnya memandang wajah Renjun dari samping, menunggu kalimat berikutnya dari laki-laki mungil itu. “Iya, soalnya kalau game bisa di-restart atau kalau ponsel, misal memorinya penuh ‘kan bisa di­-reset, diatur ulang kayak awal.”

Kini Jaemin bawa tangannya mengelus puncak kepala Renjun, berangsur hingga pipi lelakinya. Jaemin masih diam sampai Renjun menatapnya, “Coba aja hidup aku bisa di­-reset, balik ke pengaturan awal dan ubah semua yang pengen aku ubah atau cobain hal yang belum pernah aku cobain, pasti seru, ya?”

Renjun bergerak, ia memutar tubuhnya menghadap Jaemin sepenuhnya. “Atau coba aja aku bisa balik ke masa lalu. Aku pengen ubah banyak hal, deh.”

“Kalau balik ke masa lalu dan ubah banyak hal, kita yang sekarang nggak bakal ada kayak sekarang dong? Karena pasti bakal ikut berubah, kan?”

Renjun mengatup bibirnya kemudian menggerakkan bola matanya ke kiri dan ke kanan, berpikir. “Iya juga, ya?”

“Kamu memangnya nggak mau ketemu aku?” Jaemin menangkup kedua pipi Renjun, sedetik kemudian ia mengecup bibirnya singkat. “Kalau banyak hal kamu ubah, nanti aku nggak bisa cium kamu kayak sekarang, lho. Kamu mau?”

“Ya, tapi ‘kan aku pengen balik ke masa lalu bukan cuma pengen ubah beberapa hal.”

“Terus?”

“Kadang aku pengen juga ngerasain hal yang sama untuk kedua kalinya. Kayak ketemu sama kamu, misalnya.”

Atas ucapannya itu Jaemin tersenyum. “Aku juga, kalau bisa balik, aku tetap pengen ketemu kamu.”

Dan berkat perkataan Jaemin barusan Renjun gundah, “Tapi … kayaknya jangan, deh.”

“Kenapa?”

“Aku nggak bisa bikin kamu bahagia.”

Kening Jaemin berkerut saat itu juga. “Kata siapa?” dan Renjun langsung menunjuk dirinya sendiri.

“Aku bahagia, kok,” katanya.

Hening. Cukup lama. Keduanya bergelut dengan pikiran masing-masing.

“Jaemin?”

“Hmm?”

“Aku capek.”

Untuk itu, Jaemin memandang Renjun, menatapnya tepat di mata untuk beberapa detik lamanya lalu kemudian ia bawa tubuh laki-laki yang ia kasihi itu dalam dekapannya. “Capek kenapa?”

Semuanya.

“Sayang, harus semangat, ya?”

Nyatanya, Renjun tidak bisa.

“Iya.”

Di usianya yang ke-22, Renjun benar-benar menyadari bahwa hidupnya benar-benar berat.

Padahal seingatnya, ia lebih kuat dari ini.

Dalam dekapan Jaemin, seluruh kepingan-kepingan dalam pikiran Renjun menumpuk dan mulai terbawa arus, turun hingga mencapai dada. Rasanya sesak, seolah semua kepingan yang menumpuk itu kini berada disana, menghimpit dadanya.

Padahal barusan Jaemin menyemangatinya, tapi kenapa rasanya hampa?

Mungkin Jaemin pun turut lelah karena hampir setiap harinya ia habiskan mendengar keluh kesah Renjun yang tiada habisnya. Entahlah.

Renjun mulai merasa tidak berguna.

Ia yakin, selama ini ia lebih kuat dari ini.

Buktinya ia baik-baik saja dulu, ketika orang tuanya bertengkar hebat di depannya hampir setiap hari hanya karena mempermasalahkan orang ketiga.

Ia juga baik-baik saja dulu, setelah berhasil diselamatkan, ketika ibunya, entah bagaimana, menariknya bersama ke tengah jalan saat ia berusia mungkin sekitar 4 tahun.

Ia juga baik-baik saja ketika duduk di pangkuan ayah yang pergelangan tangannya mengeluarkan cairan merah akibat garpu yang sempat digunakan untuk menyuapinya kala itu.

Ia juga baik-baik saja ketika tengah malam dibawa keluar dari rumah, tidur di penginapan bersama ibu akibat disuruh keluar oleh ayah.

Ia juga baik-baik saja ketika teman-temannya perlahan berbalik arah meninggalkannya sendirian di belakang.

Ia ingat semua itu dengan cukup jelas dan sungguh Renjun benar-benar merasa baik-baik saja sebelumnya.

Namun, semuanya berubah. Puncaknya ketika ayah pergi, untuk selamanya, meninggalkan Renjun dan ibu sendirian. Sejak itu akhirnya Renjun menyadari, ia ternyata terluka lebih dalam dari yang ia kira.

Ah, kepingan-kepingan kenangan itu muncul lagi.

Renjun menangis sejadinya dalam dekapan Jaemin kala itu. Membiarkan semua yang menumpuk dalam hati dan pikirannya meluruh bersama cairan yang keluar dari matanya.

“Nggak apa-apa. Aku disini.” Jaemin mengelus pundak Renjun, menepuknya sesekali untuk menenangkan.

Atas ucapan Jaemin yang satu itu, Renjun kembali gundah.

Sebenarnya apa yang ia inginkan?

Siapa yang harus ia salahkan?

Siapa yang harusnya ia benci?

Apa yang harusnya ia lakukan?

Renjun sendiri tidak mengerti.

Ia hidup, tapi entah kenapa rasanya hampa? Seperti cangkang kosong, wujudnya ada namun tidak berisi.

Renjun kehilangan arah.

“Kalau misalnya aku nggak ada, kamu bakal gimana?” tanya Renjun setelah tangisannya reda sepenuhnya. Ia sudah berhenti menangis sejak beberapa menit yang lalu.

“Aku bakal kacau.” Itu jawaban Jaemin atas pertanyaan Renjun barusan.

Renjun tersenyum, hatinya terenyuh. “Bisa aja kamu malah tenang karena aku nggak ada.”

Jaemin menghela nafas beratnya. Tangannya kembali ia bawa mengelus rambut Renjun. “Semuanya bakal susah kalau kamu nggak ada.”

“Tapi pasti kamu bisa berdiri sendiri,” ucap Renjun getir, matanya memanas lagi. “Kamu lebih hebat dari aku.”

Jaemin diam.

“Kalau ada kesempatan buat lebih bahagia tanpa aku, memangnya kamu nggak mau?”

“Belum tentu tanpa kamu aku bisa bahagia, Renjun.” Mata Jaemin bergetar, ia menatap wajah Renjun, meneliti wajah yang paling ia kasihi itu cukup lama, mencari sesuatu yang entah apa pada wajah itu. “Kalau kita bisa buat kebahagiaan bersama, kenapa harus bahagia sendiri?”

“Tapi gimana caranya?” Mata Renjun terpejam.

Jaemin kembali menariknya ke dalam dekapan. “Jangan kemana-mana, Renjun.”

Dan berkat itu, sebisa mungkin Renjun menahan air matanya agar tidak jatuh lagi. Demi apapun, Renjun bingung. Karena sejatinya ia tidak bisa berjanji untuk tidak pergi. “Maaf.”

“Nggak apa-apa kalau kamu ngerasa nggak baik-baik aja.” Tepukan Jaemin pada pundaknya masih terasa lembut, menenangkan. Dagunya ia taruh tepat di atas kepala Renjun, sesekali mencium puncaknya, menghirup aroma Renjun yang begitu candu baginya lalu detik berikutnya kembali Jaemin berucap, “Tapi, jangan berhenti, ya?”

Dan berkat kalimat yang Jaemin ucapkan barusan, Renjun kembali terisak, tangisannya bahkan semakin deras ketika dekapan Jaemin mengerat.

“Kita belum sempat coba durian kesukaan kamu yang dijual di pinggir kota itu lho,” ucap Jaemin di tengah tangisan Renjun. “Nanti kita kesana, ya?”

Sekali lagi, dada Renjun rasanya tercekat. Ia tiba-tiba teringat dengan hal-hal yang ia impikan bersama Jaemin. Mulai dari menonton ulang semua anime lawas yang mereka sukai, menamatkan game Genshin Impact karena katanya Jaemin curiga kalau Paimon merupakan musuh akhir yang harus mereka lawan , atau pergi nonton konser artis kesukaan mereka.

“Film yang tahun lalu kita tonton juga, season barunya bakal rilis bulan depan, tuh. Katanya kamu penasaran siapa musuh yang sebenarnya? Kita harus nonton itu, terus taruhan. Siapa yang tebakannya salah harus traktir makan bakso 5 porsi.”

Renjun menarik kepalanya ke belakang membuat Jaemin sedikit menunduk menatapnya tepat di mata. “Bener, ya?”

Jaemin mengangguk. “Kalau nanti kamu menang, aku bolehin kamu tambah mienya kalau kurang, deh.”

Renjun terkekeh. “Janji?” Jari kelingking ia angkat kemudian Jaemin menyambutnya, mengaitkan kedua jari mereka, mengikat janji.

“Janji.”

Detik berikutnya Jaemin kembali merengkuh tubuh Renjun. “Makanya, jangan kemana-mana sendirian, ya? Ada aku. Perginya bareng aku aja.”

Seketika itu pula Renjun tersadar, ternyata ia benar-benar egois.

Bagaimana bisa ia berpikir untuk pergi meninggalkan Jaemin padahal ia sekali pun belum pernah membahagiakan laki-laki itu?

Harusnya ia tidak kemana-mana, setidaknya sampai ia bisa membalas semua kebaikan Jaemin dan membuatnya bahagia.

Harusnya Jaemin tetap menjadi alasannya untuk tetap tinggal.

Harusnya ia tetap disini.

Harusnya ia tidak pergi.

Dan pada akhirnya, untuk kesekian kali Renjun kembali pada kenyataan; bahwa sekecil apapun itu, setidaknya ia masih memiliki alasan untuk tetap bertahan.

**

©beyellowed — twitter.com/beyellowed