super far; can i taste it again?
cw // a peck
“Huang Renjun?”
Renjun menjentikkan jarinya, mengarahkan jari telunjuk dan jempolnya yang terbentuk seperti pistol ke arah Jaemin, “Yup, that’s me.” Kemudian ia mengedipkan sebelah matanya kepada Jaemin — yang entah kenapa terlihat kurangajar namun begitu memesona bagi Jaemin.
Jaemin membuang nafas beratnya, mengalihkan pandangannya kembali menghadap ponsel di tangannya.
Untuk beberapa saat Jaemin menatap ponsel tersebut dan Renjun secara bergantian, memastikan sekali lagi bahwa Renjun yang saat ini berdiri di depannya dan Renjun yang ia temui di internet adalah orang yang sama.
“Kalo masih nggak percaya, lo bisa cek akun sosmed gue,” katanya. Kemudian setelah beberapa detik tidak mendengar balasan dari Jaemin, Renjun berjalan ke arah kulkas, membuka benda dengan dua pintu tersebut tanpa beban seolah itu hal yang biasa ia lakukan. “Lo punya bir?”
Atas pertanyaan Renjun barusan, kepala Jaemin langsung terangkat menatap ke arah si model — iya Jaemin baru percaya bahwa laki-laki ini benar-benar seorang model, tentu setelah pencarian tadi. Dahinya berkerut.
“Seriously? Setelah kejadian semalam bisa-bisanya pagi ini lo cari bir?”
Renjun terkekeh. Ditutupnya pintu kulkas itu kemudian ia merotasikan tubuhnya menghadap Jaemin dan menyender pada kulkas sembari melipat tangannya di depan dada. “Emangnya semalam kita ngapain?”
Jaemin yang masih duduk di meja makan kala itu langsung memijit pelipisnya dengan jempol dan telunjuknya tangan kanannya. Ia pusing.
Jujur, ia sendiri bingung harus menjawab pertanyaan Renjun seperti apa, pasalnya, Jaemin sama sekali belum mengingat kejadian apa yang sebenarnya terjadi antara dirinya dengan laki-laki itu.
Yang ia tau saat membuka mata Renjun sudah ada di sampingnya, tertidur pulas tanpa busana bahkan dalam keadaan keduanya saling mendekap satu sama lain.
Pagi itu, Jaemin terkejut bukan main. Seolah melihat hantu, ia terlonjak dari tidurnya secara tergesa mengakibatkannya jatuh membentur lantai.
Dan sialnya, akibat suara gaduh yang dihasilkan Jaemin itu, Renjun terbangun.
Saat membuka mata, laki-laki itu menatap Jaemin bingung. Dengan santainya ia bertanya. “Kenapa lo tidur di bawah?”
Sungguh, tidak ada kepanikan di wajah laki-laki itu. Bahkan ketika sadar tubuhnya hanya ditutupi dengan selimut, Renjun malah meminta Jaemin menyediakan pakaian untuknya dan bodohnya Jaemin langsung sediakan.
Setelah itu Renjun pergi membilas dirinya.
Sambil menunggu Renjun selesai, otak Jaemin bekerja keras.
Bahkan setelah Renjun ikut duduk menemaninya di dapur dan meminta Jaemin mengetikkan namanya pada mesin pencari di ponselnya tadi, Jaemin tetap berusaha mengingat-ingat kejadian semalam.
Namun satupun bayangan mengenai kejadian setelah pulang dari bar itu benar-benar tidak mampir dalam benaknya, mau sekeras apapun Jaemin berusaha mengingatnya tetap saja Jaemin tidak mengingat apa-apa.
Apakah mereka melakukan itu?
“You remember what happened last night, no?“
Jaemin tersadar dari lamunannya.
Apakah sekarang Jaemin terlihat brengsek?
Tentu jawaban ‘iya’ dari Jaemin bisa menjadi boomerang baginya sebab bisa saja Renjun akan melemparkan pertanyaan lain mengenai kejadian itu dan jika Jaemin tidak bisa menjawab dengan benar Renjun akan tau kalau sebenarnya ia tidak mengingat kejadian semalam. Dengan begitu si model tentu saja akan mengira bahwa Jaemin adalah orang yang tidak bertanggung jawab.
Sedangkan jawaban ‘tidak’ dari Jaemin pastinya akan terdengar sangat klasik bagi Renjun alias mana mungkin ada yang lupa kalau dia telah menghabiskan malam panas bersama seseorang terlebih lagi orang itu seindah Renjun?
Kedua jawaban itu memiliki ujung yang sama. Sama-sama merugikan.
Lalu apa yang harus Jaemin lakukan?
Untuk menetralkan perasaan rasa bersalahnya, Jaemin berdeham. “So, what do you want?”
Oke, pertanyaan ini mungkin terdengar kurangajar.
Memangnya apalagi yang akan diminta oleh Renjun? Harusnya Jaemin langsung saja berkata bahwa ia akan bertanggung jawab bukannya malah bertanya apa yang jelas-jelas diinginkan model itu. Renjun tentu ingin Jaemin bertanggung jawab bukan?
Lalu jika memang harus bertanggung jawab, Jaemin akan bertanggung jawab seperti apa?
Mengencaninya?
Atau — tunggu. Tidak mungkin ‘kan model itu akan memintanya untuk menikahinya?
Oh, ayolah.
“What do I want?” Renjun berjalan kembali ke arah meja kemudian mendaratkan pantatnya pada kursi, berhadapan langsung dengan Jaemin.
Harusnya ini perkara yang mudah. Ia bisa saja meminta Renjun melupakan kejadian ini atau menganggap ini hanya sebuah kesalahan atau paling-paling menganggap bahwa semalam hanya one night stand biasa yang memang disepakati keduanya. Lalu selesai.
Iya…’kan?
Tapi, ketika satu sudut bibir Renjun terangkat, kenapa, ya, rasanya ini tidak akan berakhir dengan mudah?
Renjun memajukan tubuhnya, “What do you think I want?” tanyanya sembari menopang dagunya dengan tangan kiri.
Jaemin tertegun. Matanya bergerak, tak ayal ia ikuti kemana bola mata Renjun bergerak.
Cukup lama keduanya beradu pandang hingga mata Jaemin secara tidak sadar bergerak memindai setiap inci wajah Renjun mulai dari mata, turun ke hidung, kemudian beralih ke kedua pipi laki-laki itu dan berlanjut hingga berakhir pada bilah bibir merahnya.
Ah… bagaimana bisa Jaemin lupa kalau ia pernah menyicipi bibir itu?
Jaemin menyesali kebodohannya sendiri karena ia bisa-bisanya melupakan rasanya. Harusnya ia mengingat dengan benar bagaimana bibir itu bertem —
“Sebenarnya kalau lo lupa sama kejadian itu…” Mata Jaemin refleks ia kembalikan lagi menatap mata Renjun, menunggu si model melanjutkan kalimatnya. “Gue bisa bantu bikin lo ingat lagi.”
Sekali lagi Jaemin tertegun, matanya berkedip sekali, dua kali hingga berkali-kali. “Maksudnya?”
Mendengar pertanyaan bodoh itu, Renjun membuang nafas beratnya, ia bawa tubuhnya menyender pada kursi lalu setelah itu sepersekian detik berikutnya Renjun berdiri, menarik dagu Jaemin membuat kepala laki-laki itu terangkat menghadapnya.
Semuanya terjadi begitu cepat, Jaemin sulit mencerna apa yang baru saja Renjun lakukan bahkan ketika bibir Renjun menyentuh bibirnya dengan lembut, akal sehatnya tidak berfungsi semestinya.
Renjun menciumnya.
Atau tidak?
Oh.
Renjun mengecupnya.
Benar. Hanya sebuah kecupan singkat namun mampu merusak fungsi alat berpikir Jaemin.
Ketika Renjun menjauhkan wajahnya, matanya bergerak mengikuti gerakan mata Jaemin. “Sekarang ingat?”
Kini Jaemin bawa lagi matanya pada bilah bibir Renjun yang tadi mengecupnya. Cukup lama dan sebelum sempat Renjun kembali pada posisi awalnya, Jaemin menarik dagu Renjun persis seperti apa yang laki-laki itu lakukan padanya. “Can I taste it again?” tanyanya, kini kembali beradu pandang dengan Renjun, menunggu jawaban dari laki-laki itu.
Satu detik
Dua detik
Tiga detik
Dan tawa Renjun pecah saat itu juga.