super far; how do we met
cw // mention of alcohol, alcohol consumption, drunk, mention of nudity.
Kenapa, ya?
Dari semua negara yang ada, kenapa dia memilih Jerman sebagai tempat pelariannya?
Kenapa harus Jerman?
Bukankah seharusnya Jerman menjadi negara yang paling dia hindari? Tapi, kenapa?
Jaemin bahkan baru menyadari hal ini setelah sedari tadi kakinya bergerak sendiri, menuntunnya ke tempat yang sungguh tidak asing ini.
Dan pada langkah terakhirnya, pandangan Jaemin mengedar, memindai setiap sudut tempat yang seharusnya sudah ia kenali. Detik setelahnya Jaemin mendengus, mencemooh dirinya sendiri atas apa yang telah dia lakukan.
Harusnya tidak begini.
Saat dirinya memutuskan untuk melarikan diri, harusnya ia pergi sejauh mungkin. Pergi sejauh-jauhnya, pun ke ujung dunia yang bahkan tidak akan ada yang tau keberadaannya. Berharap dengan begitu dia tidak akan menyesali apapun lagi.
Lantas kenapa malah tempat ini yang menjadi pemberhentiannya?
Jaemin kira dengan mengikuti instingnya untuk melarikan diri, dia tidak akan pernah lagi berada di titik ini.
Namun pada akhirnya, mau sekeras apapun ia berusaha, semua tetap sama.
Logikanya tidak berfungsi semestinya.
Dan kekosongan masih saja mengambil alih hatinya.
**
“Why don’t you just go back to him and make up?”
Jaemin yang kala itu sedang tenggelam dengan pikirannya sendiri tiba-tiba tersadar setelah suara seseorang secara samar masuk pada rungunya. Pandangannya ia alihkan ke samping mendapati seorang laki-laki dengan kameja biru bercorak yang entah sejak kapan sudah duduk tidak jauh darinya. Jaemin baru menyadari kalau jarak keduanya kini hanya terpisah oleh satu stool, nyaris bersampingan. Kemudian ia beralih memandang bartender yang berdiri di depan laki-laki itu.
Ah, pertanyaan tadi memang bukan tertuju padanya sebab saat ini laki-laki itu terlihat sedang bertukar pandang dengan si bartender. Dan detik selanjutnya Jaemin membuang muka, tidak mau terlalu lama memandang ke arah mereka.
“I mean — this is not the best way to deal with ‘a lovers quarrel’, you know—”
“Lovers quarrel?” Terdengar suara dengusan dari samping Jaemin, sudah pasti berasal dari laki-laki itu. “Gue emang sering ketemu sama dia, but we’re not lovers. Hell, no. Never.”
“Oh really? Gue kira things were going well for both of you karena beberapa bulan ini lo jadi jarang kesini semenjak I set you two up,” balas si bartender lagi sambil mengocok sebuah botol stainless. “Emang dia bukan tipe lo?”
“Kayaknya iya … kayaknya bukan.” Laki-laki itu berdecak. Dari sudut mata Jaemin, terlihat ia baru saja mengedikkan bahunya. “I don’t know.”
Selain karena suasana bar yang memang bernuansa cozy, tidak penuh dengan hingar bingar, dengan jarak yang terlalu dekat ini, Jaemin dapat mendengar pembicaraan keduanya.
Sebenarnya Jaemin sendiri tidak berniat untuk menguping, Jaemin bahkan sudah berusaha sebisanya untuk menutup telinga, tapi pembicaraan dua orang itu benar-benar sangat jelas. Bagaimana bisa Jaemin hindari? Ia tidak mungkin mengangkat pantatnya lalu pergi dari sini guna menghargai perbincangan keduanya ‘kan?
Untuk itu, kembali Jaemin coba alihkan pikirannya. Laki-laki itu sekarang meraih ponsel dari saku celananya, membaca beberapa pesan masuk, salah satunya pesan dari sobatnya yang mengatakan bahwa ia mungkin akan datang terlambat, Jaemin diminta untuk memesan duluan tanpa menunggunya.
Dengan begitu, Jaemin pun membuka suara, “One Long Island Iced Tea, please.” Jaemin rasa ia tidak perlu lagi mengangkat tangan sebab sejak tadi si bartender belum angkat kaki dari tempatnya, masih sibuk berbicara dengan laki-laki tadi sebelum akhirnya beranjak setelah mendengar pesanan Jaemin.
“Oh! Suka Long Island Iced Tea juga?”
Jaemin sedikit terperanjat, laki-laki yang sedikit lebih mungil darinya itu tiba-tiba memandang bahkan sedikit mencondongkan tubuhnya pada Jaemin.
“Ah sorry,” katanya kemudian, menyadari keterkejutan di wajah Jaemin. “Gue cuma kaget aja karena ada orang yang pesan minuman yang sama kayak gue,” laki-laki itu terkekeh. “Soalnya nih, ya, gue jarang nemu ada yang pesan Long Island Iced Tea juga barengan sama gue disini.”
Tatapan Jaemin seketika terkunci pada mata laki-laki di hadapannya ini. Pasalnya saat kedua mata mereka bertemu, dari sini Jaemin dapat melihat dengan jelas wajah laki-laki itu.
Jaemin tidak pernah mengira bahwa di dunia ini ada sosok seindah ini. Sungguh Jaemin tidak bohong ketika kata indah itu muncul di benaknya pada detik pertama setelah pandangannya mendarat sempurna pada wajah laki-laki itu ketika ia menoleh sepenuhnya pada Jaemin.
Dan atas pemikirannya sendiri, Jaemin terkekeh.
“Kenapa ketawa?” tanya si lawan bicaranya saat ini. Matanya masih tertuju pada Jaemin, bergerak-gerak lucu mencari maksud dari tawa Jaemin barusan, tak ayal ia juga ikut tertawa. “Lo suka juga ‘kan?”
Jaemin mengangguk sebagai jawaban dan setelahnya laki-laki berambut hitam itu melebarkan mulutnya, matanya berbinar seolah ia baru saja menemukan harta karun setelah sekian lama mencari.
“Gue Renjun,” katanya penuh antusias, tangannya terulur di hadapan Jaemin membawa laki-laki itu pada keterkejutan ke-duanya, dimana ia tidak menyangka bahwa orang asing baru saja mengajaknya berkenalan hanya karena memiliki kesukaan yang sama.
Sejujurnya Jaemin bukanlah orang yang pandai bergaul. Jadi, jika ada di situasi seperti ini tentu membuatnya merasa ... canggung ... mungkin?
Atau setidaknya itu yang dia kira.
Melihat Jaemin yang diam saja, laki-laki bernama Renjun itu kembali berucap, “Sorry, gue bikin lo nggak nyaman, ya?”
Namun, bukannya ini wajar, ya? Mengajak seseorang berkenalan?
Perasaan tidak enak langsung muncul di hati Jaemin sebab ia secara tidak secara sengaja mengacuhkan laki-laki itu.
Untuk itu Jaemin segera menggeleng, “No, nggak gitu. Gue cuma kaget karena tiba-tiba ada yang ajak kenalan,” kemudian ia membalas uluran tangan Renjun segera sebelum laki-laki itu mengurungkan niatnya. “Jaemin.”
Renjun mengangguk-angguk setelahnya. “Orang sini?”
Jaemin menggeleng. “Dari Asia,” jawabnya. Sengaja tidak memberi tau secara spesifik darimana ia berasal. Toh apa gunanya memberi tahu tentang asalnya kepada orang asing yang hanya akan dia temui sekali di Jerman ini?
“Oh… kesini liburan atau…?” tanya Renjun lagi.
Fokus Jaemin dari wajah Renjun sedikit teralihkan karena bartender yang tadi baru saja menyajikan minuman yang dipesan Jaemin.
“Bisa dibilang begitu,” jawab Jaemin seadanya.
“So, you’re new here?”
Jaemin mengangguk.
Setelahnya entah bagaimana obrolan keduanya pun mengalir seperti minuman yang mereka tenggak malam itu dan entah sudah yang ke berapa kalinya kedua adam ini memesan minuman yang sama saking larutnya dalam pembicaraan.
Renjun bercerita kalau ia juga sebenarnya berasal dari China kemudian menghabiskan masa remajanya di Korea dan kini bertualang di Jerman sembari merintis karirnya. Sesekali jika punya waktu luang atau ada pekerjaan, ia akan berangkat kembali ke Korea dan pada fakta yang Jaemin terima itu akhirnya ia memutuskan untuk berbicara santai dengan Renjun.
Berbeda dengan Jaemin, Renjun juga turut bercerita kalau dia memang sudah lama tinggal di Jerman dan kesibukannya saat ini adalah dia bekerja sebagai model untuk salah satu brand.
Ah, pantas saja gayanya begitu mencolok.
“Lo minum-minum disini emangnya nggak apa-apa?” tanya Jaemin, sedikit penasaran dengan reputasi si-yang-katanya model ini.
Yang ditanya langsung berhenti menenggak minumannya. “Ya, emangnya kenapa?” Gelas yang tadi dipegang Renjun, ia lepaskan di atas meja bar. “Gue udah langganan disini. Jadi, gue nggak bakal kenapa-kenapa. Disini udah pasti aman, tenang aja,” jelasnya kemudian mengedipkan sebelah matanya pada Jaemin berhasil membuat laki-laki Agustus itu tersedak.
Melihat respon Jaemin, Renjun tertawa lagi. Lucu, pikirnya.
Renjun memutar stool-nya, mengalihkan tubuhnya menghadap meja bar lagi kemudian kembali mengangkat gelas. “Kalau lo butuh tour guide, lo bisa kabarin gue,” katanya sebelum ia menghabiskan sisa cocktail dalam satu tarikan nafasnya.
Alih-alih menjawab, Jaemin malah bertanya. “Emang nggak sibuk?” itu hanya sebuah pancingan, tentu saja Jaemin sadar kalau yang dikatakan Renjun tadi hanya sekadar basa-basi. Mana mungkin yang katanya seorang model punya banyak waktu luang—oh kecuali dia model yang baru merintis karirnya mungkin bisa Jaemin maklumi.
“Sibuk.” Nah, kan. “Tapi kalo lo butuh… gue bisa usahain,” lanjutnya diiringi dengan tawa.
Dari sini, mata Jaemin dapat melihat dengan jelas bagaimana mata Renjun melengkung sempurna membentuk bulan sabit dan ah.. ternyata ada lesung pipi kecil juga di wajah Renjun. Manis.
Sungguh, Jaemin tidak bohong. Lesung pipinya benar-benar menambah kesan manis pada wajah laki-laki yang lebih kecil darinya itu.
Ah. Jaemin tidak menyangka, orang asing yang baru beberapa menit yang lalu berkenalan dengannya ini bisa membuat Jaemin larut pada pesonanya. Secepat itu.
Dan pada menit-menit setelahnya, ingatan Jaemin mengenai kejadian selanjutnya mulai mengabur. Ia tidak begitu ingat bagaimana kelanjutannya, sebab kepalanya mulai pengar. Panas alkohol mulai mengambil alih kesadarannya, secara perlahan mulai melemahkan pikirannya. Yang bisa ia ingat selanjutnya hanyalah pembicaraan konyol keduanya yang mana Renjun becerita bahwa ia percaya dengan adanya alien, membicarakan kesibukannya, lalu saling bertukar ID social media, menari di tempat selama beberapa menit, keluar dari bar bersama lalu kemudian apa?
Sungguh apa yang ia lakukan bersama Renjun setelah keluar dari bar?
Kenapa sekarang laki-laki itu tertidur di sampingnya, dibungkus selimut tebal dan tanpa busana?