super far; one month

Tidak.

Jelas Jaemin tidak berbohong setiap kali ditanya apa hubungannya dengan Renjun karena nyatanya mereka memang bukan apa-apa. Dan memang seharusnya begitu ‘kan?

Kekhawatiran Jaemin tentang Renjun yang dikira akan memintanya bertanggung jawab nyatanya salah besar. Laki-laki itu jauh lebih santai dari yang ia kira. Bahkan setelah kecupan yang dia berikan terakhir kali, si model itu bahkan tidak lagi mempermasalahkan apapun yang sudah terjadi.

Sungguh. Semuanya seperti angin lalu, kejadian itu seolah tidak pernah mereka alami.

Renjun sendiri tidak pernah membicarakannya pun dengan Jaemin yang memang tidak mengingat apapun perihal kejadian itu hingga saat ini.

Satu bulan.

Betul-betul sudah satu bulan berlalu setelah pertemuannya dengan laki-laki bernama Huang Renjun itu. Dan jika ditanya bagaimana kelanjutan kisah dari keduanya? Jaemin tentu dengan mantap akan menjawab; tidak ada kelanjutan apapun karena mereka tidak ada apa-apa.

Bahkan berteman saja tidak?

Iya, bahkan berteman saja tidak.

Hmmm…

Bagaimana harus Jaemin jelaskan, ya?

Ya … hubungan mereka hanya begitu saja.

Apalagi yang harus Jaemin jelaskan?

Oh.

Oke.

Mungkin harus Jaemin ceritakan.

Hari itu setelah tawa Renjun mereda, mereka sempat berbincang beberapa saat. Hanya membicarakan sedikit tentang kesibukan masing-masing, lalu membicarakan bagaimana cara mereka bisa sampai di apartment Jaemin dalam keadaan mabuk — untuk bagian ini Jaemin tidak mau mengingatnya karena sungguh ternyata memalukan. Setelah itu mereka juga sempat memesan makanan cepat saji dan makan bersama sembari menonton televisi.

Jaemin bukanlah orang yang cepat beradaptasi dengan orang asing. Sejujurnya dia orang yang canggung dan tidak gampang mempercayai orang lain. Namun, anehnya hari itu dia bercerita banyak hal dengan Renjun, bertukar canda bahkan menjadi pendengar yang baik kala Renjun bercerita tentang pekerjaannya yang melelahkan.

Hari itu betul-betul mereka nikmati sebaik mungkin, menghabiskan waktu bersama seolah mereka adalah dua sahabat yang baru dipertemukan lagi setelah sekian lama.

Renjun bilang hari itu memang jadwalnya libur, makanya tidak heran kalau semalam dia minum-minum seperti orang gila.

Ketika ditanya kenapa dia tidak pergi ke suatu tempat untuk menikmati liburnya, Renjun menjawab, “Nggak dulu, deh. Lebih seru habisin waktu sama lo soalnya.

Sayangnya hari itu Jaemin tiba-tiba dihubungi oleh temannya yang mana mengharuskan Jaemin untuk pergi.

Gue bisa nunggu disini kok. Lo pergi aja nggak apa-apa.” Itu kata Renjun setelah mendengar cerita Jaemin.

Renjun bilang dia bisa menunggu di tempat Jaemin karena katanya jika dia berdiam diri di tempatnya, sudah pasti akan ada orang yang mengganggunya dan entah kenapa Jaemin mengiyakan. Aneh. Bukannya dia berkali-kali tanamkan dalam pikirannya untuk tidak sembarangan mempercayai orang?

Berkatnya, sepanjang hari Jaemin dibuat khawatir.

Bagaimana kalau Renjun punya niat buruk?

Bagaimana kalau Renjun melakukan hal yang tidak-tidak di tempatnya?

Bagaimana kalau Renjun sebenarnya penjahat yang berkedok model?

Dan masih banyak lagi bagaimana-bagaimana lainnya yang terus muncul di pikiran Jaemin silih berganti bahkan hingga laki-laki itu tiba di depan pintu apartment-nya sendiri pada malam harinya.

Secara tergesa Jaemin membuka pintu dan langsung menuju ke ruang tengah. Tidak ada siapapun. Di dapur, di kamar, di balkon, di kamar mandi, semuanya. Renjun tidak ada.

Jaemin berpikir mungkin laki-laki itu tidak jadi menunggu dan memilih pulang ke tempatnya. Dan ya, ternyata memang demikian karena besoknya Jaemin lihat Renjun mengunggah foto barunya di akun Instagram-nya. Syukurlah. Setidaknya Jaemin tau kalau Renjun baik-baik saja.

Dan … ya, mungkin mereka bisa bertemu lain waktu.

Begitu pikirnya.

Namun, setelah hari itu tidak ada yang terjadi.

Keduanya kembali pada kesibukan masing-masing, kembali menjadi orang asing.

Hanya begitu saja. Sungguh.

Hidupnya kembali berjalan sebagaimana mestinya.

Mungkin memang benar, pertemuannya dengan Renjun hanya untuk sesaat. Jadi, Jaemin harusnya tidak perlu ambil pusing akan hal itu.

Lagipula Jaemin tidak terlalu memikirkannya, toh dia juga tidak menaruh harap apapun terhadap laki-laki bernama Renjun itu.

Dan memang sudah seharusnya begitu kan?

Jaem, modelnya udah datang.

Tapi kalau dipikir-pikir lagi, kenapa, ya, model itu bahkan tidak mengatakan apapun? Dia sama sekali tidak ada meninggalkan pesan kepada Jaemin bahkan sekadar untuk pamit. Memang apa susahnya, sih, meninggalkan secarik kertas — setidaknya di meja dan bilang kalau—

Jaem, lo denger nggak sih?”

Lamunan Jaemin buyar. Pundaknya baru saja disentuh seseorang, membawanya kembali ke permukaan.

“Ya?” Jaemin berkedip beberapa kali, menyadarkan dirinya sendiri kemudian menoleh ke samping mendapati seorang laki-laki yang kini menatapnya heran. “Ya? Kenapa Mark?” kemudian Jaemin merotasi tubuhnya, sepenuhnya menghadap Mark—teman sejawatnya dulu di Korea.

“Gue bilang modelnya udah datang. Lo kesini buat bantuin pemotretan gue kalau lo lupa.”

Jaemin terkekeh. “Aduh, iya-iya. Ini jadi kok gue bantuin lo. Tenang,” katanya, ditepuknya pundak Mark beberapa kali membuat laki-laki itu mendengus.

“Lo udah selesai siapin bagian lo ‘kan?”

“Udah kok ini.” Jaemin angkat tangannya yang memegang kamera. “Modelnya mana?”

Dengan menggunakan dagu, Mark menunjuk ke arah depan. “Tuh, daritadi di depan lo.”

Kepala Jaemin bergerak mengikuti pandangan Mark dan pada detik berikutnya Jaemin mematung.

“Huang Renjun,” kata Mark kemudian. “Dia model yang cukup terkenal. Jadi, lo jangan sampe bikin salah atau bisa-bisa nama gue yang jadi jelek. Awas aja lo.” Kali ini gantian Mark yang menepuk pundak Jaemin beberapa kali.

Dari tempatnya berdiri, mata Jaemin bergerak-gerak, entah kenapa tiba-tiba ia sedikit merasa gelisah. Sekarang di depan matanya benar-benar ada sosok Huang Renjun — orang yang baru saja ia pikirkan beberapa menit yang lalu.

Si model itu sedang berdiri bersama perias yang kini tengah memberikan sentuhan terakhir di wajahnya dan beberapa detik setelahnya gantian perias busana mengambil alih, membantu merapikan penampilannya.

Laki-laki itu mungkin belum sadar dengan kehadiran Jaemin, atau bahkan mungkin ia sebenarnya sadar tapi dia tidak tau siapa Jaemin?

Opsi kedua cukup masuk akal, karena ya… bagaimana mungkin ‘kan model itu mengingatnya setelah satu bulan lamanya mereka tidak ada interaksi apapun?

Pertemuan mereka hanya singkat. Tentu laki-laki itu tidak mungkin akan mengingat Jaemin bukan?

Beberapa detik kemudian, pandangan Jaemin beradu dengan milik Renjun. Keduanya hanya diam di tempat, saling memandang satu sama lain untuk beberapa detik lamanya sebelum akhirnya Renjun membuang muka lebih dulu memutus kontak matanya dengan Jaemin.

Jaemin mendengus, mencemooh dirinya sendiri yang baru saja merasa kecewa.

Mark beralih mendekati Renjun yang sama sekali tidak menghiraukan keberadaan Jaemin. Dari sini Jaemin dapat melihat Mark sedang menjelaskan konsep yang ia inginkan dengan si model dan tentu dibalas dengan anggukan dari Renjun. Mata Jaemin turut bergerak mengikuti gerakan-gerakan yang dibuat oleh Renjun di depan sana, entahlah Jaemin sendiri tidak sadar kenapa dia melakukan hal itu. Dan ketika Jaemin hampir kembali tenggelam dengan pikirannya sendiri, Mark memanggilnya untuk mendekat.

“Hari ini lo bakal dibantu sama temen gue,” kata Mark pada Renjun sesampainya Jaemin di depan mereka. “Namanya Jaemin dia yang bakal jadi fotografer lo kali ini.”

“Kenapa bukan lo aja?” tanya Renjun. Demi Tuhan, laki-laki itu bahkan tidak ada melirik sekali pun ke arah Jaemin.

There’s something I have to do — 

No!” Renjun memotong. “Mark, lo nggak lupa ‘kan gue oke-in project ini karena apa?” tanyanya, jelas dengan nada tidak suka. Jaemin hampir saja tersinggung karena ini kalau saja si model tidak melanjutkan perkataannya. “Dari awal gue setuju karena gue tau lo yang bakal jadi fotografernya, masa iya pas udah harinya malah bukan lo sih? Kalo kayak gini nggak professional dong namanya?”

Ah, oke. Untuk yang satu itu Jaemin cukup paham.

I know, Renjun, I’m so sorry but — ” Mark melirik ke arah Jaemin sebelum akhirnya menarik tangan Renjun “Oke, kita omongin ini dulu sebentar.” dan keduanya menghilang dari pandangan Jaemin.

Jaemin tidak tau lagi harus bereaksi seperti apa saat ini. Baginya ini membingungkan, tentu saja. Jaemin sendiri tidak tau sama sekali perjanjian apa yang Mark buat dengan model itu, pun Jaemin baru tau kalau ternyata keduanya cukup dekat hingga Mark dengan santainya dapat menarik tangan si model di depan semua orang — tidak, kok, bagian ini tidak mengganggu pikiran Jaemin sama sekali. Sungguh.

Jaemin hanya bingung. Saat Mark menawarkan project ini pada Jaemin, katanya ia sudah sangat yakin dengan kemampuannya dan tentu Jaemin langsung mengiyakan, mengingat Jaemin juga cukup mengenal Mark karena dulu pernah kerja bersama sebelum akhirnya laki-laki itu pindah ke Jerman. Seharusnya Jaemin tersinggung dengan kejadian barusan sebab awalnya ia kira Mark menawarkan project ini padanya karena memang segala pertimbangan sudah disepakati berbagai pihak.

Tapi, yang terjadi barusan itu sebenarnya apa?

Dan— tunggu.

Si model itu benar-benar bertingkah seolah mereka tidak pernah bertemu sebelumnya atau hanya perasaan Jaemin saja?

Jaemin mendengus, lagi-lagi mencemooh dirinya dan segala pikirannya.

Pasti Renjun tidak sengaja, ia hanya tidak mengingat siapa itu Jaemin. Ah, bukan tidak mengingat, dia tentunya tidak mengenali seorang Na Jaemin. Apa sih yang Jaemin harapkan?

Selang beberapa saat sosok Mark dan Renjun kembali.

“Jaemin ini Renjun, Renjun ini Jaemin,” ucap Mark memperkenalkan Jaemin dan Renjun secara proper.

Sigh.

Haruskah mereka berkenalan lagi?

Kemudian Jaemin menjulurkan tangannya. “Jaemin.”

“Renjun.” Dan Renjun membalasnya.

Sudah. Seperti itu saja.

Setelah Mark pergi, sekali lagi Jaemin membicarakan konsep pemotretannya dengan Renjun yang dibalas anggukan serta beberapa ide dari si model itu sendiri. Selama Renjun bicara, mata Jaemin terus bergerak memindai wajah laki-laki itu — sama hal-nya seperti yang pernah ia lakukan — mulai dari mata, turun ke hidung, kemudian beralih ke kedua pipi laki-laki itu hingga berakhir pada belah bibir merahnya.

“Lo dengerin gue ‘kan?”

Mata Jaemin langsung bergerak ke atas, menatap Renjun tepat di mata. “Denger kok.”

“Ya udah, kita mulai aja atau lo masih mau mandangin gue?”

Jaemin terkekeh dibuatnya, “Mulai aja. Lagian gue tetep bakal mandangin lo selama pemotretan, kok,” katanya berhasil membuat Renjun memutar bola mata.

Tidak salah ‘kan? Memangnya apa yang dikerjakan seorang fotografer kalau bukan memandang modelnya dari balik kamera?

Jaemin harus mengakui bahwa Renjun benar-benar professional. Oh. Lihatlah bagaimana laki-laki itu memposisikan dirinya di depan kamera terlihat sangat mudah. Sekali lihat Jaemin langsung bisa menangkap momen-nya.

Jaemin benar-benar dibuat kagum dengan semua yang Renjun lakukan, mulai dari cara dia berpose, cara dia menatap kamera, dan jangan lewatkan bagimana cara laki-laki itu bergerak membuka sedikit kerah kameja hijau yang ia kenakan saat ini kemudian menggesernya sedikit untuk memperlihatkan tulang selangkanya.

image

Hari ini Renjun terlihat berkali-kali lebih indah dari yang pernah Jaemin lihat. Baik secara langsung sebulan yang lalu, pun melalui majalah atau media sosial. Renjun bagaikan pahatan paling sempurna yang diciptakan oleh Dewa.

Singkat kata: Jaemin terpesona.

Rasanya ia ingin mengabadikan setiap momen yang dihasilkan oleh gerakan-gerakan Renjun di depan sana karena — oh ayolah kalian harus lihat sendiri betapa indahnya seorang Huang Renjun saat ini. Jaemin hampir berbuat sinting dengan tidak berhenti melakukan pemotretannya kalau saja Renjun tidak bersuara.

“Bukannya udah cukup, ya?”

Berkat pertanyaan itu, Jaemin akhirnya tersadar dan langsung bergerak menghampiri monitor untuk mengecek hasil dari pemotretan ini.

Renjun berjalan mengikutinya, berdiri di samping Jaemin, ikut melihat-lihat foto dirinya.

Awalnya Jaemin kira Renjun akan berkomentar tentang hasil foto Jaemin, tapi kemudian laki-laki itu berkata. “Gue baru tau kalau lo ternyata fotografer.” Berhasil membuat Jaemin menolehkan wajahnya.

Apa katanya?

“Waktu itu gue ada urusan mendadak, jadi, gue harus pergi tapi begonya gue lupa kalau belom bilang apa-apa ke lo.” Renjun membalas tatapan Jaemin, kini wajah keduanya hanya berjarak beberapa centi. “Gue kira setelah gue pergi lo bakal tanyain gue dimana, kenapa pergi atau apapun lah. Tapi, sampe sekarang lo nggak ada hubungin gue.”

Jaemin diam beberapa detik, matanya bergerak sekali lagi memindai wajah Renjun mencoba membaca air muka laki-laki itu sebelum akhirnya berkata, “Sorry?

Apology accepted.

Hah?

Melihat wajah Jaemin yang bingung, pada akhirnya Renjun tergelak.

Jaemin berdeham, menetralkan detak jantungnya sendiri. “Gue kira lo gak inget gue?”

“Inget kok.” Setelah tawanya mereda, Renjun mendaratkan tubuhnya pada salah satu kursi di samping Jaemin, kemudian menyilangkan kakinya. “Lagian mana mungkin gue lupa orang yang tidur sama gue.”

Refleks, Jaemin mengedarkan pandangannya. Takut perkataan Renjun barusan ditangkap oleh telinga-telinga yang ada di ruangan ini.

Berkat tingkah Jaemin itu, Renjun terkekeh kecil. “Kenapa? Panik, ya, lo?”

Jaemin menggeleng. Ia kembalikan fokusnya pada monitor di depannya. Menghadapi Renjun bertingkah seperti ini betul-betul membuatnya jadi panas dingin.

Sorry kalau tadi gue bikin lo tersinggung.” Jaemin kembali mengalihkan pandangannya pada Renjun, menunggu laki-laki itu melanjutkan. “Itu lho, yang tadi gue kayak marah-marah di depan Mark.”

Ahh..

“Nggak apa-apa.” Jaemin mengangguk-angguk mengerti arah pembicaraan ini. “Lagian siapa yang gak kesel pas tau apa yang disepakati di awal malah berubah pas hari H?” Kedua sudut bibir Jaemin terangkat. “Gue paham kok.”

Hening.

Keduanya kembali fokus dengan hasil pemotretan hari ini. Tidak ada yang kurang, semuanya cukup. Entah karena Jaemin memang berbakat atau Renjun lah yang menjadi faktor utama yang jelas Renjun tidak memberi tanggapan apa-apa. Mungkin ia cukup puas dengan hasilnya, entahlah Jaemin tidak tau.

Untuk itu Jaemin membuka suara, “Menurut lo fotonya ada yang kurang nggak? Apa ada pose atau angle yang menurut lo kurang cocok di lo?”

Renjun bergumam panjang, meneliti satu-persatu foto dirinya di layar monitor lalu kemudian berucap. “Gue nggak ada hubungan apa-apa sama Mark.”

Tiba-tiba???

Kepala Renjun kembali berputar menghadap Jaemin lagi, “Malam ini lo sibuk nggak?”

Jaemin menggeleng.

Renjun berdiri dari duduknya, kemudian menyodorkan ponselnya di depan Jaemin. “Bagi kontak lo.”

Jaemin patuh.

Setelah Jaemin memberikan kontaknya, barulah Renjun menjawab. “Gue rasa udah oke sih. Fotonya bagus semua. Lo pilih aja yang menurut lo bagus dan kirim ke gue nanti — ” kata-katanya terhenti, Renjun melirik jam yang melingkar di tangannya. “Oh. Nggak. Lo bisa liatin ke gue secara langsung aja.”

Semuanya terjadi begitu cepat sebelum sempat Jaemin mencerna semua yang dikatakan Renjun. Ini maksudnya dia ingin bertemu dengan Jaemin atau Jaemin keliru? Jaemin bingung sendiri.

“Di bar yang waktu itu oke gak?”

“Dimana?” tanya Jaemin, otaknya masih belum berfungsi sepenuhnya.

Renjun mendengus. “Ini kayaknya lo, deh, yang lupa sama gue? Masa lo udah lupa sama bar itu?”

Saat kesadarannya kembali, Jaemin membalas. “Nggak lah. Mana mungkin gue lupa orang yang tidur sama gue.”

Dan Renjun untuk kesekian kalinya tertawa dibuatnya.