teman tapi menikah; pemantik pt.2

cw // tw harsh words (bingung mau kasih tags apa. kalo kurang tolong kasih tau ya~

satu kebiasaan Renjun yang sejatinya sudah Jaemin hafal betul di luar kepala tiap kali Renjun nggak bisa nata pikirannya sendiri adalah; mabuk.

satu kebiasaan yang tadinya Jaemin kira udah nggak lagi Renjun lakuin sejak nikah sama Jaemin, mengingat selama tujuh bulan lamanya mereka nikah, Renjun udah nggak pernah lagi minum-minum sampai berakhir tepar karena mabuk.

serius.

kalau sekadar minum-minum santai ditemenin Jaemin sih, sering. tapi, sejak mutusin buat nikah sama Jaemin, sampai sekarang usia pernikahan mereka udah nginjak bulan ke tujuh, Renjun sama sekali udah nggak pernah wasted karena mabuk.

apa lagi buat clubbing? kepikiran aja Renjun udah nggak pernah—kali?

asli, deh.

bahkan nih, ya, kalau diingat-ingat lagi, terakhir kali Renjun pergi clubbing adalah; sehari sebelum pernikahan Haechan.

waktu itu, Renjun beneran mabuk kayak orang gila sampai bener-bener ilang kesadaran—tipikal Renjun yang sudah Jaemin hafal betul tabiatnya tiap kali patah hati.

dan tiap kali mabuk, waktu ditanya sama Jaemin, “kenapa harus segitu gilanya mabuk-mabukan demi ngilangin sakit hati?

sama Renjun dijawab, “gue ini lagi berusaha ngelepasin semuanya. biarin gue mengasihani diri gue sampe puas dulu dong.

lantas, kali ini apa?

Renjun harus lepasin apa?

kali ini apa?

Renjun harus mengasihani dirinya atas dasar apa?

kenapa?

kenapa pula—untuk pertama kalinya sejak setahun terakhir—Renjun harus mabuk bahkan clubbing dengan Haechan ketika laki-laki itu lah yang jadi alasan Renjun selama ini berkali-kali mengasihani diri dengan caranya sendiri?

Jaemin beneran nggak ngerti.

sumpah.

Jaemin masih nggak ngerti bahkan ketika Jeno muncul di hadapan dia. “Jaem?” laki-laki itu pegang pundak Jaemin setibanya dia di samping table yang Jeno pesan.

“Renjun mana?”

Jeno berdeham sebelum memberi respon. “gue nggak tau masalah kalian apa, tapi lo bisa tenang dulu 'kan, Jaem?”

Jaemin alihin pandangan dia ke lantai dansa yang nggak jauh dari tempatnya berdiri.

seketika rahangnya mengeras.

tanpa alihin pandangannya dari sana, Jaemin bilang. “gue tadi minta ke lo buat liatin Renjun sampai gue dateng lho, Jen.” mata Jaemin tajam menatap lurus ke depan, nggak peduli sama Jeno yang sekarang kelabakan.

“gue liatin kok. makanya gue bilang lo tenang dulu bisa?”

peduli setan.

daripada harus tenangin dirinya sendiri, Jaemin milih buat bawa kakinya ke lantai dansa, mambelah lautan manusia yang tengah sibuk bergerak mengikuti musik yang memekakan telinga, meraih tangan laki-laki mungil yang baru aja menikmati segelas alkohol dalam sekali teguk, membuatnya menoleh nggak suka.

Huang Renjun ada disana, pandangannya beradu dengan Jaemin yang baru aja tiba.

segala umpatan yang udah Jaemin rangkum, tertahan di ujung lidah waktu matanya berhasil memindai wajah Renjun yang udah kelihatan merah dengan mata yang sembab.

“ayo, pulang.” suara rendah Jaemin terdengar mutlak, nggak perlu waktu lama buat Jaemin tarik tangan Renjun menjauh dari kerumunan.

tapi, bukan Renjun kalau nggak keras kepala. laki-laki itu merontah, berusaha lepasin tangannya dari cengkraman Jaemin. “apaan sih?!”

oh.

nggak ada lagi sapaan, “Na Jaemin? lo dateng?” seperti biasa.

Jaemin beralih, dia tatap Renjun tepat di matanya yang udah keliatan sayu. “pulang, Renjun.” cengkramannya melembut seiring dia bicara. “kita bicara di rumah.”

bukannya menjawab, Renjun bawa pandangannya yang Jaemin yakini tertuju pada Jeno yang baru aja berdiri di belakang Jaemin. bertepatan dengan itu pula, tatapan Jaemin turut beradu dengan milik Haechan yang baru aja napakin kakinya tepat di belakang Renjun.

oh ayolah. ada apa dengan orang-orang ini?

kenapa harus ada mereka di situasi seperti ini?

Jaemin nggak suka.

“oh wow.” itu suara Haechan, dia ketawa tanpa Jaemin tau apa artinya, yang jelas tawa Haechan sekarang kedengeran menghina. “beneran lagi berdua ternyata?” tanyanya lalu mendengus kemudian. “lo dateng bareng sama laki-laki ini?” berhasil bikin sebelah alis Jaemin terangkat.

“lo bisa nggak berhenti ikut campur?”

lagi, tawa Haechan mengudara lalu sedetik kemudian dia lempar tanya. “udah gila ya, lo?” sebelum akhirnya dia tarik tangan Renjun dari genggaman Jaemin. dengan beraninya, dia bawa Renjun ke belakang punggungnya tanpa sekalipun lepasin tangan Renjun pada genggamannya.

seriously? di depan gue?

bisa-bisanya Haechan sekali lagi memantik api yang selama ini Jaemin tahan?

“menurut lo, atas apa yang lo lakuin ke Renjun, apa gue bisa biasa aja?”

bisa-bisanya dia berlagak seolah ingin melindungi Renjun?

“menurut lo, atas apa yang lo lakuin ke Renjun, gue mau biarin lo bawa Renjun pergi dari sini?”

bisa-bisanya dia berlagak seolah Jaemin lah musuh yang sebenarnya?

jangan bercanda, Lee Haechan.

kata orang yang dulu paling banyak nyakitin Renjun.

kepalan tangan beserta rahang Jaemin mengeras.

“Renjun.” nggak mau terprovokasi dengan ucapan Haechan, Jaemin kunci lagi pandangannya dengan suaminya. “Ayo, pulang.”

“nggak mau.”

Jaemin sungguh berusaha buat nggak meledak.

“kenapa?”

sekali lagi, Jaemin pindai wajah Renjun, seolah mencari sesuatu disana yang bisa yakinin Jaemin kalau Renjun sama sekali nggak beneran nolak dia, bahwa Renjun sendiri ingin pulang saat itu juga.

tapi, kenapa suaminya itu bahkan nggak goyah meski ditatap sedemikian rupa?

demi apapun, nggak pernah dalam hidupnya, Jaemin nggak paham atas apa yang Renjun pikirin. padahal seingat Jaemin, dia lah yang paling memahami Renjun, dia lah yang tau semua hal tentang Renjun termasuk semua alasan yang membuat Renjun senang, sedih, bahkan marah sekali pun.

lantas, kenapa kali ini rasanya sulit sekali?

Jaemin masih nggak ngerti.

pun getaran dari mata suaminya itu, nggak cukup buat Jaemin ngerti dengan apa yang sebenarnya Renjun rasakan saat ini. apa yang membuatnya sesakit ini sampai-sampai suaminya itu kelihatan begitu murka?

“gue nggak mau pulang sama lo.”

sebenarnya apa yang salah?

“gue mau sama Haechan aja.”

oh.

pemantiknya menyala pada akhirnya.

Jaemin mendengus kasar. “lo segitu maunya bersenang-senang sama dia?” Jaemin buang mukanya sejenak, sebelum sepersekian detik berikutnya dia bawa pandangannya pada Haechan yang dengan tampang kurangajarnya masih saja bersikap seolah tameng untuk suaminya. “kalian mau ngabisin malam berdua? iya?”

nggak.

bukan itu.

harusnya bukan itu yang keluar dari mulut Jaemin.

“Jaem, udah. nggak enak dilihat orang.” Jeno menengahi, dia sentuh kedua pundak Jaemin dari belakang, meremasnya seolah ingin nyadarin Jaemin. kemudian dengan sedikit tekanan, Jeno berusaha narik dia dari kerumunan. “lo tenangin diri dulu.”

peduli setan dengan tatapan orang. Jaemin terlalu murka buat mikirin hal itu, yang dia mau sekarang adalah; Renjun mau dengerin dia buat pergi dari tempat ini atau mungkin Jaemin bisa saja mukul wajah Haechan saat itu juga.

“bersenang-senang kata lo?” dengusan dari Renjun, berhasil lolos dari mulutnya, nggak kalah kasar dengan milik Jaemin. “ngabisin malam berdua?” lalu selanjutnya tawa Renjun mengudara. “harusnya gue nggak, sih, yang lempar pertanyaan itu ke lo sama orang itu?”

maksudnya?

“ah.” belum sempat Jaemin proses apa yang dimaksud Renjun, suaminya itu menepis tangan Haechan dari tangannya sendiri. akibatnya, gelas yang semula dia pegang, terlempar, pecah menyentuh lantai, berhasil membuat orang-orang yang ada disana riuh.

musik berhenti.

Renjun acak rambutnya hingga berantakan. “lo sendiri udah puas belum senang-senangnya?”

dan berkat pertanyaan Renjun itu, kesadaran Jaemin dibawa kembali ke permukaan.

“Ren.” satu langkah Jaemin ambil buat deketin Renjun, tapi suaminya itu malah mundur dua langkah.

“belum, ya?

Jaemin masih nggak ngerti bahkan waktu mata sembab Renjun mulai kembali berkaca. “oke. kalo gitu, biar gue aja yang pergi dari sini dan kalian bisa lanjut senang-senang lagi.” kemudian, Renjun berlalu melewati semua yang ada di situ. pergi begitu aja ke arah pintu keluar.

“Renjun!”

**