teman tapi menikah; prolog
cw : harsh words, lowercase
hal terakhir yang menjadi tujuan hidup Renjun adalah; menikah.
kalau ditanya kenapa? ya … gimana ya?
Renjun bukannya sama sekali nggak pernah kepikiran buat menikah. ya … cukup jarang, sih. tapi setidaknya pernah kepikiran. setidaknya.
menjalin hubungan serius kemudian terikat sebuah janji pernikahan dan menikmati sisa hidupnya dengan orang lain, sejujurnya sering kali muncul di benak laki-laki kelahiran bulan maret ini.
well, siapa yang nggak bakal kepikiran kalau tiap kali pertemuan keluarga ada aja orang yang—kalau mulutnya nggak direm dikit, mungkin bakal gatal-gatal—dengan kurang-ajarnya bakal nanya, “kamu itu mau sampai kapan jadi perjaka tua? sayang lho itu-mu dibiarin lemes terus sampe keriput.”
kalau udah kayak gitu, mau nggak mau tetap jadi kepikiran ‘kan?
alias nih, ya, “siapa juga yang mau itu-nya lemes sampe keriput, gue tanya?” sungut Renjun dalam hati.
kalau ditanya perihal kisah cinta Renjun sejauh ini kayak gimana? ya … sebenarnya juga nggak mulus-mulus amat, sih. meskipun beberapa kali sempat berpacaran, well Renjun sendiri nggak pernah mau membawa hubungannya ke jenjang yang lebih serius.
kenapa?
“nggak cocok aja,” jawabnya singkat tiap kali ditanya apa alasan dia mengakhiri hubungannya.
kalau hanya dengar sekilas tentang jawaban Renjun ini, sih, mungkin kalian sama sekali nggak akan percaya sama alasan dia.
“kata gue sih lo goblok.”
Renjun menghentikan aktivitasnya membenarkan tuxedo yang ia kenakan, waktu kalimat itu keluar dari mulut Jaemin—sahabatnya—yang sekarang lagi duduk anteng sambil menikmati sate ayam dengan hikmat, membuat Renjun mendelik nggak senang sambil menepuk kasar pundak laki-laki itu.
“maksud lo apa?” sungutnya sembari kembali membenarkan duduknya.
Jaemin terlihat membersihkan sedikit noda saus kacang dari bibirnya—hasil dari tepukan Renjun padanya barusan membuatnya tersedak.
sedetik kemudian dagunya terangkat mengarah ke depan. “liat noh—” setelah berhasil menelan sisa makanannya, sambil menahan tawa, Jaemin tatap Renjun tepat di mata. “alasan yang bikin lo nggak pengen nikah … udah duluan nikah.” dan tawa Jaemin pecah saat itu juga. “sama orang lain pula.”
sialan.
rasanya Renjun ingin mengutuk Jaemin sebanyak yang ia bisa mengingat bagaimana laki-laki itu kelewat paham akan dirinya dan segala alasan bodohnya untuk tetap pada pendirian bahwa; Renjun nggak akan menikah … kalau bukan sama cinta pertamanya.
bodoh ‘kan?
iya, Renjun tau dia bodoh. kelewat bodoh.
bagaimana bisa laki-laki aries ini kekeuh nggak akan menikahi siapapun kecuali satu orang?
bagaimana bisa selama ini cintanya habis ke satu orang aja yang bahkan sampai saat ini pun nggak tau akan perasaannya?
Jaemin pernah bilang, setidaknya sekali seumur hidup, Renjun harus ngomong ke orang itu kalau ia suka. tapi, dengan alasan, “gue nggak mau rusak persahabatan kita.” Renjun harus telan semua fakta bahwa pada akhirnya, cinta pertamanya … akan selamanya menjadi cinta sepihaknya.
sialan.
benar-benar sialan.
bisa nggak sih Renjun menangis saat ini juga?
Renjun ingin meraung, merontah, membongkar dan mengacak-acak seluruh pesta, kalau saja sosok yang selama ini ia puja bukan sahabatnya.
sahabatnya yang selama ini ia damba.
sahabatnya yang selama ini ia suka.
sahabatnya yang selama ini nggak pernah tau kalau ia sebenarnya cinta.
sahabat yang kini akan menikah.
Renjun ingat betul, dunianya sempat gelap gulita waktu orang itu tanpa dosa datang memberikan undangan pernikahan sebagai kado di hari ulang tahunnya.
Renjun ingat betul, dengan senyum sumringah, orang itu berkata. “pokoknya lo harus datang sama pasangan. jangan sendirian, entar keliatan banget ngenesnya.”
sialan.
denger lo mau nikah aja gue udah ngenes banget, bangsat.
“yo, Lee Haechan!” lamunan Renjun buyar saat itu juga waktu denger suara Jaemin menyapa.
pandangannya teralih ke samping melihat Jaemin perlahan berdiri sambil mengulurkan tangannya. “curang banget lo nikah duluan nggak nungguin kita,” katanya kemudian setelah memberikan pelukan singkat.
Lee Haechan. iya, dia orangnya.
“sorry not sorry nih, kalau nungguin lo pada duluan, keburu makin ubanan gue,” guraunya dibalas tawa oleh Jaemin, kemudian matanya beralih ke arah Renjun. “apalagi si Renjun. heran, gonta-ganti pacar mulu, nikahnya nggak tau kapan.”
halah. gue nggak nikah-nikah juga karena nungguin lo, setan. bisa-bisanya lo nikah bukan sama gue.
pada akhirnya, kalimat itu harus Renjun telan mentah-mentah. wajah masamnya seketika berubah menjadi senyuman paksa.
“iya nih,” katanya sebelum menjabat tangan Haechan kemudian memeluknya singkat. duh, boleh kayak gini sebentar aja gak? batinnya, meski pada akhirnya tetap dilepas juga.
“cari calon yang baik dan bener tuh dimana sih, Chan? capek juga gue, pengen nikah aja.”
yang ditanya hanya tertawa. “nggak usah jauh-jauh.” detik berikutnya ia tepuk pundak Jaemin. “nih, udah paling baik dan benar, ya orang ini nih.”
ya kaliiiiii.
masa sama Na Jaemin, sih?
kenapa harus Na Jaemin?
kenapa harus dengan laki-laki yang selama ini selalu ia ganggu tidurnya di malam hari hanya karena Renjun ingin ditemani saat sendiri?
kenapa harus Na Jaemin?
kenapa harus dengan laki-laki yang selama ini selalu memberinya pundak bahkan nggak jarang memberinya pelukan hangat tiap kali Renjun menangis karena patah hati?
kenapa pula nama Jaemin selalu jadi yang pertama muncul di benaknya tiap kali merasa sepi?
dan anehnya kenapa pula tiap kali Renjun membutuhkan apapun selalu ia sanggupi?
kenapa pula Renjun secara otomatis selalu menghubungi Jaemin di kala ia mabuk di jam tiga pagi?
dan herannya, kenapa pula laki-laki itu selalu datang dan membawanya pergi kala ia nggak bisa berdiri lagi?
kenapa harus Na Jaemin?
laki-laki yang kelewat tau segala hal mulai dari memasak, pekerjaan rumah, cara membayar pajak bahkan hal sekecil; makanan apa yang nggak bisa Renjun konsumsi.
kenapa harus Na Jaemin?
laki-laki yang katanya suka fotografi tapi pas dicek, aib Renjun semua yang menuhin isi galeri?
kenapa harus dengan laki-laki yang udah kelewat tau baik dan buruknya Renjun selama ini?
sungguh, Renjun nggak ngerti.
kenapa pula ia baru menyadari ini?
oh.
Renjun ngerti.
setelah dipikir-pikir lagi, akhirnya Renjun berhenti pada sebuah pertanyaan; kenapa nggak dari dulu aja dia mengakhiri cinta sepihak ini?
Renjun berpaling ke kiri. “Jaemin,” panggilnya sesaat setelah suara Haechan di depan sana mulai terdengar membacakan janji suci.
“hmm?”
“nikah yuk?”
Jaemin menoleh, menatapnya tepat di mata dan sepersekian detik kemudian kedua sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman. “ayo.”
mata Renjun bergerak-gerak. mencari letak gurauan di balik jawaban Jaemin barusan.
menyadari itu, Jaemin kemudian dengan mantap berkata. “ayo kita nikah, Renjun.”
dan pada akhirnya Renjun sampai pada sebuah kesimpulan; hidup selamanya dengan seorang Na Jaemin mungkin nggak buruk juga.
“ayo.”
**
©beyellowed