“kamu itu mau sampai kapan jadi perjaka tua? sayang lho itu-mu dibiarin lemes terus sampe keriput.”
ingat pertanyaan yang satu ini?
kalau ingat, berarti bukan cuma Renjun saja yang sekarang jadi kepikiran.
entah angin dari mana, pertanyaan kurang ajar dari tantenya itu tiba-tiba terlintas di pikiran Renjun membawanya pada sebuah kesadaran; nikah atau nggak kayaknya itu gue bakalan tetap lemes sampe keriput, deh.
soalnya nih, ya, soalnya ... setelah nikah sama Jaemin, Renjun sama sekali belum pernah...
selama lima belas tahun mengenal Huang Renjun, sejujurnya nggak ada satu hari pun laki-laki itu nggak bikin Jaemin sakit kepala. singkat kata, Renjun itu banyak tingkah.
sungguh.
ini semua bermula sejak pertemuan pertama mereka di bangku SMA. Jaemin yang tadinya hidup damai sentosa menjalani hari abu-abunya, tiba-tiba diterpa bencana—atau anugerah? entahlah, Jaemin sendiri bingung artiinnya—sebab sejak kedatangan makhluk bernama Huang Renjun sedikit banyak bikin hidup Jaemin porak poranda.
kalau ditanya kenapa? sebenarnya bukan karena apa-apa.
Entah sudah berapa lama kalimat itu tak lagi keluar dari mulut Jaemin, pun sekadar melalui pesan singkat juga tak pernah lagi ia utarakan.
Dan jika ditanya apa alasannya … entahlah. Jaemin juga ingin mengetahuinya.
Jika boleh jujur, Jaemin ingin mengetahui apa yang sebenarnya ia rasa. Ingin mengerti bahwasanya setiap kali Renjun mengungkapkan cintanya, kenapa hati Jaemin tidak lagi menghangat seperti biasa? Dan kenapa pula dirinya sulit untuk mengatakan hal yang sama?
Pun sama halnya dengan saat ini. Jaemin ingin tau, kemana perginya perasaan menggebu yang kerap ia rasakan ketika nama Renjun muncul menghiasi layar ponselnya?
Sungguh. Jaemin ingin mengetahuinya dan jelas apa yang saat ini ia rasa bukanlah jawabannya.
hal terakhir yang menjadi tujuan hidup Renjun adalah; menikah.
kalau ditanya kenapa? ya … gimana ya?
Renjun bukannya sama sekali nggak pernah kepikiran buat menikah. ya … cukup jarang, sih. tapi setidaknya pernah kepikiran. setidaknya.
menjalin hubungan serius kemudian terikat sebuah janji pernikahan dan menikmati sisa hidupnya dengan orang lain, sejujurnya sering kali muncul di benak laki-laki kelahiran bulan maret ini.
well, siapa yang nggak bakal kepikiran kalau tiap kali pertemuan keluarga ada aja orang yang—kalau mulutnya nggak direm dikit, mungkin bakal gatal-gatal—dengan kurang-ajarnya bakal nanya, “kamu itu mau sampai kapan jadi perjaka tua? sayang lho itu-mu dibiarin lemes terus sampe keriput.”
kalau udah kayak gitu, mau nggak mau tetap jadi kepikiran ‘kan?
Benar kata Haechan, harusnya Jaemin menyadari itu.
Dengan cepat Jaemin berdiri dari duduknya dan tanpa menghiraukan noda tanah merah yang menempel di celana dan bajunya, Jaemin bergegas berlari meninggalkan makam itu.
Semakin cepat langkah Jaemin terayun, semakin hatinya pun gelisah.
Kala itu mata Jaemin bergetar, ditatapnya wanita paruh baya yang telah duduk di hadapannya entah sejak kapan. Ditanya demikian, hati Jaemin lantas kacau dibuatnya.
Ah, kapan ya, terakhir kali Jaemin menatap wanita itu tepat di mata? Rasanya sudah lama sekali tidak melihat wajah teduh itu memandang ke arahnya. Seingat Jaemin, terakhir kali mereka bersua—tentu tanpa perasaan duka—mungkin saat perayaan tahun baru kala Renjun mengundangnya ke rumah. Entah lah, Jaemin juga tidak terlalu mengingatnya
2 minggu berlalu sejak Renjun menyatakan bahwa ia ingin Jaemin menjadi saudaranya. Iya, saudara. Rasanya Jaemin ingin tertawa berkali-kali mengingat nasibnya sekarang bukan lagi terjebak dalam—apa sih istilahnya? friendzone, ya? Iya, itulah pokoknya, melainkan 'kakak-adek zone' kalau kata Bunda.
Jaemin mendorong pintu utama Huang Café and Bakery, kafe dan toko roti yang tiga bulan terakhir ini sering ia kunjungi. Letaknya berada tepat di samping rumah laki-laki manis yang selama tiga bulan ini selalu menemani.
Jika ditanya kenapa nama kafe ini mirip dengan marga Renjun, maka jawaban yang tentu Jaemin akan berikan adalah; benar, ini kafe milik keluarga Renjun.
Jaemin ingat pertama kali menginjakkan kaki di kafe ini, ia kaget bukan main sebab Renjun sama sekali tidak memberi tau tentang ia yang ternyata adalah anak pemilik kafe yang cukup terkenal dan ternyata sudah memiliki cabang dimana-mana.
Satu fakta itu sempat membuat Jaemin berpikir puluhan kali untuk mendekati Renjun sebab ia tak ingin disangka mengincar kekayaan laki-laki itu. Sebuah pemikiran yang tiada berguna sebenarnya. Sungguh.
sepanjang hari kemarin sejujurnya terasa berat bagi jaemin, pun bagi renjun. banyak hal berlarian dalam benak keduanya, tapi baik jaemin maupun renjun dua-duanya memilih diam.
bukan.
bukannya jaemin tidak mau berbagi cerita pada renjun, ia hanya ingin menikmati hening ini bersama kasihnya untuk beberapa saat. karena entah kenapa, meski hening, dengan adanya renjun di sampingnya ia tetap merasa tenang.
Akibat mengabaikan pesan Bunda dan memilih tidur hingga larut malam, pagi ini Jaemin menerima konsekuensinya; bunda benar-benar membiarkannya bangun sendiri dan Jaemin baru membuka mata tepat saat jam menunjukkan pukul enam lewat tiga puluh lima.
Protesnya tadi ke Bunda juga tiada berguna, Bunda malah berkata. “Ya nggak tau, bukan salah Bunda. Siapa suruh semalam begadang?”